Kalo di postingan beberapa hari yang lalu ada sajak september, sekarang saya akan posting sajak desember mengawali desember ceria kali ini, puisi ini ditulis oleh Sapardi Djoko Damono.
SAJAK DESEMBER
kutanggalkan mantel serta topiku yang tua
ketika daun penanggalan gugur:
lewat tengah malam. Kemudian kuhitung
hutang-hutangku pada-Mu
mendadak terasa: betapa miskinnya diriku;
di luar hujan pun masih kudengar
dari celah-celah jendela. Ada yang terbaring
di kursi, letih sekali
masih patutkah kuhitung segala milikku
selembar celana dan selembar baju
ketika kusebut berulang nama-Mu:taram-
temaram bayang bianglala itu
(1961)
disela-sela derasnya hujan malam ini, izinkan kami bersyukur pada-Mu ya Robbi.. Allahumma Shayyiban Naafi'a
9:02pm
:pantaskah kita tidak bersyukur, setelah apa yang diberikan Allah pada kita?:
Just be yourself
Jadilah dirimu sendiri, sebaik-baiknya DIRIMU!!
Rabu, 04 Desember 2013
Sabtu, 30 November 2013
Mencintai Penanda Dosa
Bismillah..
cerita dibawah saya kutip dari buku Salim A. Fillah yang berjudul "Menyimak Kicau Merajut Makna". Buku ini isinya tentang kumpulan twett akun @salimafillah, karena isinya beda-beda kisah saya bacanya secara acak dan seorang adik menyuruh saya baca kisah yang berjudul "Mencintai Penanda Dosa". Jujur, setelah saya baca kisah ini saya masih tidak percaya kalo hal itu benar-benar terjadi tapi saya sadar hal-hal itu bisa terjadi pada siapa saja dan ini nyata, sungguh syaitan sangat ahli dan tidak 'pandang bulu' untuk menjerumuskan manusia dalam kemaksiatan. Saya termenung lamaaaa sekali dan beristighfar berulang kali setelah baca kisah ini, semoga ini jadi pelajaran bagi kita semua dan bisa menjaga diri dengan baik terutama untuk diri saya sendiri.
Kisah ini saya persingkat karena terlalu panjang jika dituliskan dalam blog, yang ingin baca lengkap ceritanya silahkan baca bukunya ^.^
>> Kini izinkan saya bercerita tentang seorang wanita yang selalu mengatakan bahwa dirinya jiwa pendosa. Kita mahfum, bahwa tiap pendosa yang bertaubat, berhijrah, dan berupaya memperbaiki diri, umumnya tersuasanakan untuk membenci apa-apa yang terkait dengan masa lalunya. Hatinya tertuntun untuk tak suka pada tiap hal yang berhubungan dengan dosanya. Tetapi bagaimana jika ujian berikut setelah taubat adalah untuk mencintai penanda dosanya? Dan wanita dengan jubah panjang dan jilbab lebar warna ungu itu memang berjuang untuk mencintai penanda dosanya.
"saya hanya ingin berbagi dan mohon doa agar dikuatkan," ujarnya saat kami bertemu di suatu kota selepas sebuah acara yang menghadirkan saya sebagai penyampai madah. Didampingi ibunda dan adik lelakinya, dia mengisahkan lika-liku hidup yang mengharu-birukan hati. Meski sesekali menyeka wajah dan mata dengan sapu tangan, saya insyaf, dia jauh lebih tangguh dari saya. "Ah, surga masih jauh."
Kisahnya dimulai dengan cerita indah di semester akhir kuliah. Dia Muslimah yang taat, aktivis dakwah yang tangguh, akhwat yang jadi teladan di kampus, dan penuh dengan prestasi yang menyemangati rekan-rekan. Kesyukurannya makin lengkap tatkala prosesnya untuk menikah lancar dan mudah. Dia tinggal menghitung hari. Detik demi detik serasa menyusupkan bahagia di napasnya. Ikhwan itu, sang calon suami, seorang lelaki yang mungkin jadi dambaan semua sebayanya. Dia berasal dari keluarga tokoh terpandang kaya raya, tapi jelas tak manja. Dikenal juga sebagai "pembesar" di kalangan para aktivis, usaha yang dirintisnya sendiri sejak kuliah telah mengentas banyak kawan; sungguh membanggakan. Awal-awal, si Muslimah yang berasal dari keluarga biasa, seadanya dan bersahaja itu tak percaya diri. Tetapi niat baik dari masing-masing pihak mengatasi semuanya.
Hari akad dan walimah itu tinggal tujuh hari menjelang, ketika sang ikhwan dengan mobil barunya datang kerumah yang dikontraknya bersama akhwat-akhwat lain. Sang muslimah agak terkejut ketika si calon suami tampak sendiri. Ya, hari itu mereka berencana meninjau rumah calon tempat tinggal yang akan mereka surgakan bersama. Angkahnya, ibunda si lelaki dan adik perempuannya akan beserta agar batas syariat tetap terjaga.
"Afwan ukhti, ibu dan adik tidak jadi ikut karena mendadak uwak masuk ICU tersebab serangan jantung,: ujar ikhwan berpenampilan eksekutif muda itu dengan wajah sesal dan merasa bersalah. "Afwan juga, adakah beberapa akhwat teman Anti yag bisa mendampingi agar rencana hari ini tetap berjalan?". "Sayangnya tidak ada. Afwan, semua sedang ada acara dan keperluan lain. Bisakah ditunda?". "Masalahnya besok saya harus berangkat keluar kota untuk beberapa hari. Sepertinya tak ada waktu lagi. Bagaimana?"
Akhirnya dengan memaksa dan membujuk , salah seorang kawan kontrakan sang Ukhti berkenan menemani mereka. Tetapi bi idznillaah, di tengah jalan sang teman ditelepon rekan lain untuk suatu keperluan yang katanya gawat darurat. "Saya menyesal membiarkannya turun di tengah perjalanan," kata Muslimah itu pada saya dengan sedikit isak. "Meskipun kami jaga sebaik-baiknya dengan dengan duduk beda baris, dia di depan dan saya di belakang, saya insyaf, itu awal semua petakanya. Kami terlalu memudah-mudahkan. Astaghfirullah."
Ringkas cerita, mereka akhirnya harus berdua saja meninjau rumah baru tempat kelak surga cinta itu akan di bangun. Rumah itu tak besar. Tetapi asri dan nyaman. Tidak megah. Tetapi anggun dan teduh. Saat sang Muslimah pamit ke kamar mandi untuk hajatnya, dengan bantuan seekor kecoa yang membuatnya berteriak ketakutan, syaitan bekerja dengan kelihaian menakjubkan. "Di rumah yang seharusnya kami bangun surga dalam ridha-Nya, kami jatuh terjerembab ke neraka. Kami melakukan dosa besar terlaknat itu," dia tersedu. Saya tak tega memangdang dia dan sang ibunda yang menggugu. Saya alihkan mata saya pada adik lelakinya di sebalik pintu. Dia tampak menimang seorang anak perempuan kecil.
"Kisahnya tak berhenti sampai disitu,"lanjutnya setelah agak tenang. "Pulang dari sana, kami berada dalam gejolak rasa yang sungguh menyiksa. Kami marah. Marah pada diri kami. Marah pada adik dan ibu. Marah pada kawan yang memaksa turun di jalan. Marah pada kecoa itu. Kami kalut. Kami sedih. Merasa kotor. Merasa jijik. Saya ters menangis di jok belakang. Dia menyetir dengan galau. Sesal itu menyakitkan sekali. Kami kacau. Kami merasa hancur." Dan kecelakaan itu pun terjadi. Mobil mereka menghantam truk pengangkut kayu di tikungan. Tepat sepekan sebelum pernikahan.
"Setelah hampir empat bulan koma,"sambungnya,"akhirnya saya sadar. Pemulihan yang sungguh memakan waktu itu diperberat oleh kabar yang awalnya saya bingung harus mengucap apa. Saya hamil. Saya mengandung. Perzinaan terdosa itu membuahkan karunia." Saya takjub pada pilihan katanya. Dia menyebutnya "karunia". Sungguh tak mudah untuk mengucap itu bagi orang yang terluka oleh dosa.
"Yang lebih membuat saya merasa langit runtuh dan bumi menghimpit adalah,"katanya terisak lagi,"ternyata calon suami saya, ayah dari anak saya, meninggal di tempat dalam kecelakaan itu."
"Subhanallah." saya memekik pelan dengan hati menjerit. Saya pandangi gadis kecil yang kini digendong oleh sang paman itu. Engkau rupanya Nak, penanda dosa yang harus dicintai itu. Engkau rupanya Nak, karunia yang menyertai kekhilafan orangtuamu. Engkaulah rupanya Nak, ujian yang datang setelah ujian. Seperti perut ikan yang menelan Yunus setelah dia sabar menyeru kaumnya.
"Doakan saya kuat Ustadz," ujarnya. Tiba-tiba, panggilan "Ustadz" itu terasa menyengat saya. Sergapan rasa tak pantas serasa melumuri seluruh tubuh. Bagaimana saya akan berkata-kata di hadapan seseorang yang begitu tegar menanggung semua derita, bahkan ketika keluarga almarhum calon suaminya mencampakkannya begitu rupa. Saya masih bingung alangkah teganya mereka, keluarga yang konon kaya dan terhormat mengatakan: "Bagaimana kami bisa percaya bahwa itu cucu kami dan bukan hasil ketaksenonohanmu dengan pria lain yang membuat putra kami tersayang meninggal karena frustasi?"
"Doakan saya Ustadz,"kembali dia menyentak. "Semoga keteguhan dan kesabaran saya atas ujian ini tak berubah menjadi kekerasan hati dan tak tahu malu. Dan semoga sesal dan taubat ini tak menghalangi saya dari mencintai anak itu sepenuh hati." Aduhai, surga masih jauh. Bahkan pinta doanya pun menakjubkan.
Allah sayangilah jiwa-jiwa pendosa yang memperbaiki diri dengan sepenuh hati. Allah, jadikan wanita ini semulia Maryam. Cuci dia dari dosa-dosa masa lalu dengan kesabarannya meniti hari-hari bersama sang buah hati. Allah, balasi tiap kegigihannya mencintai penanda dosa dengan kemuliaan di sisi-Mu dan di sisi orang-orang beriman. Allah, sebab ayahnya telah Kau-panggil, kami titipkan anak manis dan shalihah ini ke dalam pengasuhan-Mu Yang Maha Rahman dan Rahim.
Allah, jangan pula izinkan hati kami sesedikit apa pun menghina jiwa-jiwa pendosa. Sebab ada kata-kata Imam Ahmad ibn Hanbal dalam Kitab Az-Zuhud yang selalu menginsyafkan kami. "Sejak dulu kami menyepakati," tulis beliau,"bahwa jika seseorang menghina saudara mukminnya atas suatu dosa, dia takkan mati sampai Allah mengujinya dengan dosa yang semisal dengannya." Semoga ada pelajarean yang bisa kita ambil dari kisah ini. Dan mohonlah kepada Allah agar senantiasa mengistiqamahkan hati kita dalam meniti jalan-Nya hingga saat Ia menjemput kita tiada kata penutup selain satu kalimat tauhid, Laa Ilaaha illallaah. Amin.
-Salim A. Fillah dalam buku Menyimak Kicau Merajut Makna-
*saya yakin, muslimah tersebut tidak bermaksud untuk mengumbarkan aibnya tapi untuk mengingatkan kita untuk selalu berhati-hati dalam menjaga diri dan tidak memudah-mudahkan sesuatu. Semoga Allah merahmatinya dan juga putri kecilnya. Dan semoga kita selalu dalam lindungan Allah dan dijauhkan dari godaan syaitan yang terkutuk, Amin. "Ah, surga masih jauh."
09:29pm
:hikmah akhir november:
Jumat, 29 November 2013
September kelabu (?)
Sebenarnya ini postingan telat,, mau di posting bulan september kemarin tapi karena sibuk-sibuknya penelitian jadinya sempat terabaikan.. ini juga jadi postingan pertama setelah blog ini 'tertidur' 4 bulan.. *maaf ya lenteraku
September kelabu? kenapa harus disebut kelabu? mungkin bagi beberapa orang (termasuk saya) bulan september itu mengingatkan seseorang yang sudah pergi jauh... jauh sekali. Kalo seorang teman bilang september itu bulannya orang kehilangan.
Dari facebook, saya menemukan ada dua orang teman yang ternyata ditinggal 'pergi' di bulan september, mungkin bedanya cuma tahun kepergiannya yang tidak sama. Dan puisi dibawah yang judulnya "Sajak September" karya Hendry Ch Bangun yang saya reblog dari tumbrnya mba Tia Setiawati Pakualam isinya sangat-sangat cocok dengan saya yang menganggap september itu bulan kelabu.
Tapi rindu yang tak larut...
12:56am
:ditengah derasnya hujan akhir november:
Minggu, 30 Juni 2013
Hujan Bulan Juni
Sumber : klik disini
karya : Sapardi Djoko Damono
Tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
:hari terakhir di bulan juni,, dan hujan di siang ini melengkapi semua cerita yang terjadi sebulan terakhir..selamat tinggal juni, dan selamat datang juli:
Marhaban Ya Ramadhan..
Kamis, 16 Mei 2013
Bersyukur
Sumber :klik disini
Setidaknya kita harus tetap bersyukur untuk hari yang kita rasa
melelahkan, untuk setiap cobaan yang kita lalui, untuk doa-doa yang
belum dikabulkan...
Walaupun hari ini sangat
sangat melelahkan,, yang diawali dari kampus, bertemu teman-teman yang
sedang sibuk dengan skripsinya (dan saya masih berkutat dengan tempat
penelitian), kemudian pergi dengan seorang teman mencari tempat
penelitian yang berakhir dengan kekecewaan.
Setidaknya
saya harus bersyukur karena masih ada mama yang menyemangati (meskipun
lagi-lagi saya tidak bisa untuk tidak menangis kalau sudah ditelepon
mama), karena masih ada seorang teman yang jauh diseberang pulau sana
yang bela-belain nelpon untuk sekedar curhat tentang skripsinya (kita
sama-sama berjuang ya teman!), karena masih ada orang-orang yang dengan
sukarela mendoakan agar saya dimudahkan untuk mengerjakan skripsi.
Jadi, adakah alasan lain untuk tidak bersyukur hari ini? untuk
hal-hal seperti itu saja sudah menandakan kalau Allah masih sayang sama
saya,, terus dengan sombongnya saya tidak mau
bersyukur?Astaghfirullah...
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (ni’mat)-Ku.“(QS. 2:152)
Syukur berarti, tidak pernah melihat diri sebagai yang paling menderita [Asma Nadia]
karena masih ada yang patut kita syukuri setiap hari, yang terkadang kita terlalu lelah untuk menyadarinya.
10:06pm
:Alhamdulillah.. untuk hari ini dan hari-hari selanjutnya:
Jumat, 01 Maret 2013
Hanya 2 orang asing
Tulisan ini saya copas atau reblog (istilahnya di dunia tumblr) di http://secangkirkopikita.tumblr.com atau klik disini
hanya tulisan singkat, tapi sewaktu dibaca saya langsung 'jatuh cinta' sama kata-katanya dan ini bukan karena saya lagi galau ya.. ^.^
Selamat membaca..selamat menikmati hari pertama di bulan Maret dan silahkan menafsirkan sendiri makna dari tulisan dibawah..
Judul aslinya : Kita hanyalah 2 orang asing yang bertemu di tengah jalan
Tidak ada janji untuk tinggal, tidak ada janji untuk menunggu.
Sering kali kita berpisah di suatu tempat.
Lalu bertemu di tempat
lain. Saling memunggungi.
Saling berhadapan. Selalu tidak pernah meminta
suatu keharusan.
Kita akan tetap menjadi kau dan aku.
Ya itulah janji kita. Janji dua orang asing yang bertemu di tengah jalan.
Suatu saat, salah seorang dari kita ingkar janji.
Seorang dari kita
tidak ikut berbalik ketika yang lainnya beranjak pergi.
Ia menatap
punggung itu sambil menunggu—berharap berbalik dan tersenyum sembari
berkata, “jika ada yang harus terus berjalan, maka yang berjalan itu
adalah “kita” bukan “aku atau “kau” saja.”
Entahlah.
Salah satu dari kita akhirnya ingkar jadi.
….dan orang itu adalah AKU.
03:36pm
:kalo ternyata orang itu KAMU?:
Rabu, 27 Februari 2013
Stop Su'udzon!!!
Bismillah..
Su’udzon itu menyiksa diri sendiri
Pernah ngga kita berprasangka buruk sama seseorang yang baru kita kenal dan
ternyata dia membalasnya dengan berbuat baik sama kita?
Yah,, saya akui saya pernah mengalaminya bahkan
sampai 2 kali..
Biasanya dengan orang yang baru kita kenal, kita
sering berpikiran macam-macam tentang orang itu, tentang bagaimana sikapnya,
enak diajak berteman atau tidak dan segala hal tentang dia.
Suatu waktu, saya sempat su’udzon dengan orang yang
baru saya kenal, karena dia melakukan suatu hal yang menurut saya hal itu tidak
perlu dilakukan (astaghfirullah.. lagi-lagi saya pakai ‘kacamata’ manusia).
Jadi saya menyimpulkan (kesimpulan yang sesat) ,“Wah.. pasti orangnya kaya gitu, pasti begini” (dan
hal-hal jelek lain yang berkeliaran di kepala saya waktu itu).
Tidak begitu lama kami mulai kenal, tidak terlalu
akrab memang tapi membuat saya sadar.. Ya Allah DIA BAIKKKK BANGETTT.., dia
pernah menanyakan kondisi saya yang waktu itu sedang sakit “kabarmu gimana? Udah
baikan? Kayanya masih demam.”
Ya Allah.. hati ini jadi ‘sesak’, tiba-tiba merasa
bersalah, pengen terjun ke jurang yang dalaaaam. Saya benar-benar malu, malu sama diri saya sendiri (orang yang sudah pernah 'tertarbiyah' tapi kelakuan seperti orang yang belum berilmu). Saat itu juga saya banyak-banyak istighfar.
Bisa-bisanya saya berpikiran negatif sama orang baik
seperti itu,, Ya Allah maafkan hamba-Mu ini yang selalu su’udzon dengan orang
lain.
Jangan pernah su’udzon,, nanti bakal menyiksa diri
sendiri kalo ternyata orang itu malah lebih baik dari kita.
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Hudzurot:12)
11:43am
:jauhkan diri dari segala macam penyakit hati:
Jumat, 22 Februari 2013
Revisi Mimpi
Bismillah...
Mungkin perlu sewaktu-waktu kita harus me-Revisi ulang mimpi kita.
Sumber : klik disini
Membaca ulang kembali mimpi-mimpi kita, mencoreti yang sudah terwujud dan memasukkan kembali list-list mimpi baru yang ingin kita capai, yang lebih realistis dan bermanfaat bagi orang banyak.
21 Februari 2013
Ada sesuatu hal yang membuat saya merevisi ulang mimpi-mimpi yang sudah saya tulis setahun sebelumnya. Suatu hal yang membuat saya sadar, mimpi saya masih banyak yang 'egois' masih mementingkan diri sendiri (walaupun tidak ada yang salah, kalau mimpi itu untuk kebaikan diri kita sendiri).
Saya tersadar mimpi saya selama ini belum mencerminkan cita-cita terbesar saya.
Mimpi.. bagi saya sebagai jalan untuk meraih cita-cita terbesar kita,
Mimpi bagaikan beberapa misi yang harus kita jalankan untuk meraih visi hidup kita.
Kita tentunya harus mempunyai visi dalam hidup, jika belum punya tentukanlah sekarang!.
Tidak ada visi dalam hidup, membuat kita seperti 'zombie' yang tidak bersemangat dalam menjalani hidup.
Hidup harus Hidup [Sinta Ridwan]
Kalau hidup sekedar hidup, babi di hutan juga hidup. Kalau bekerja sekedar bekerja, kera juga bekerja [Buya Hamka]
Bermimpilah, karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu [Arai, Sang Pemimpi]
Bermimpilah dalam hidup, jangan hidup dalam mimpi [Sang Pemimpi]
Tanpa mimpi, orang seperti kita akan mati [Arai, Sang Pemimpi]
Selamat ber-Mimpi!!
12:55pm
22.02.13
Selasa, 12 Februari 2013
Dear Bapak...
sumber : klik disini
Dear Bapak..
Maafkan putrimu ini yang masih membuatmu bekerja di umurmu yang sudah senja
Maafkan putrimu ini jika belum bisa membuatmu bahagia
Pak..
aku sama sepertimu, tidak bisa mengungkapkan rasa sayang secara terang-terangan
kita hanya banyak berdiam ketika bertemu
tapi aku yakin dalam diammu, kau begitu menyayangiku
begitupun aku,
dalam diamku aku begitu menyayangimu..
Doaku untuk kebaikanmu selalu pak..
01:27pm
:putrimu yg (baru) beranjak dewasa:
Jumat, 08 Februari 2013
Dialog Dua Hati
Sebagian dialog ini saya ambil dari cerita bersambung yang ada di Tumblr judulnya "Sandal yang sebelah" karya Ana M. Rufisa. Cerita ini belum selesai, kalau ingin membaca silakan klik disini
Cerita ini menggunakan sudut pandang orang pertama dari dua orang tokoh (Adisti dan Fahrobbi), dan dialog dibawah ini merupakan suara hati dari kedua tokoh yang diam-diam saling mengagumi dan (mungkin!) mencintai.
Fahrobbi :
Adakah hal lain yang lebih dekat dari kematian? Mencintamu hampir
membuatku mati. Mati dari hal-hal lain yang memang tak perlu
dibanggakan dari hidup ini selain-Nya. Aku banyak belajar darimu, bahkan
dari caramu berdiam. Ini adalah tahun yang memang tak perlu lagi aku
mencari yang lebih baik, karena di hatiku sudah Tuhan titipkan namamu,
dalam doa-doa, tentu saja dalam doa yang baik. Kau tidak perlu tahu, kau
hanya butuh menunggu. Aku akan bilang kepada ibumu, juga bapakmu,
“Sandal saya yang sebelah sudah saya temukan, bolehkah saya membawanya
pulang?”
Adisti :
Pulang katamu? Siapa yang kau tuju sebenarnya? Aku atau semua
perlengkapan yang ada padaku? Parasku hanyalah perlengkapan, dan itu
bisa kau temukan di mana saja kau mau. Tapi jika hatiku yang menjadi
tujuan, itu sulit, terlalu sulit. Kau harus banyak bersabar. Kau harus
siap-siap berkorban. Apa yang bisa kau korbankan untuk membawa pulang
sandalmu yang sebelah ini? Hati akan terbayar oleh hati. Dan sampai saat
ini aku masih melihat hati yang ragu. Entah ragu dalam hatimu, atau
ragu dalam hatiku. Kita memang terlihat saling meragu.
Fahrobbi :
Ragu… aku ragu? Itu karena kau terlalu sempurna, setidaknya di
mataku. Tidak banyak yang bisa aku korbankan… Itu karena aku tidak
pernah tahu sebelumnya bahwa kamulah orangnya, jika aku sudah tahu sejak
dulu, aku pasti akan mempersiapkan segalanya lebih awal.
Kalau hanya sekadar iman, aku punya itu, walau sudah banyak debu
yang menutupinya. Tapi masih bisa aku bersihkan, akan kurendam di dalam
air paling panas, agar semua noda hilang tanpa bekas.
Adisti :
Bukan sekadar iman. Kalau iman, semua laki-laki pasti
menyimpan itu. Yang belum kau simpan dalam dirimu adalah mencintaiku
karena iman, bukan karena nafsu yang terselubung iman. Aku harap kau
paham.
Fahrobbi :
cintaku ini belum juga atas nama iman? Lalu Tuhan yang
selalu mengalir dalam darahku, apa itu belum cukup untuk dikatakan iman?
Iman menurutmu nampaknya sulit aku definisikan. Tapi bukan berarti aku
berhenti sampai di sini. Akan kucari definisi iman itu sampai dapat…
Adisti :
Iman memang sudah ada sejak kau masih menjadi setetes air. Namun, jangan
kauartikan. Kau hanya perlu mem… mem…fungsikannya dengan benar. Ah, aku
bicara ini, padahal aku juga belum tahu apakah iman di dalam diriku ini
sudah benar atau belum. Aku bicara ini sebenarnya agar kau tahu, bahwa
aku butuh imam yang akan membimbingku pada iman yang sebenar-benar!
Fahrobbi :
Kita bisa memfungsikan itu bersama. Maksudku berdua. Ah, maksudku
bertiga, berlima, atau sebanyak apapun anak yang Tuhan titipkan kepada
kita… Apakah kau masih ragu padaku?
Adisti :
Iya, aku masih ragu. Meragukan niatmu.
Fahrobbi
Mari bershalat. Tuhan akan memberikan kita penjelasan, setidaknya ketenangan.
Adisti :
Setelah itu, kuatkan niatmu. Aku datang dari niat. Aku pun pergi
dengan niat. Kau belum sepenuhnya berniat. Yang aku tahu, kau masih di
batas harap. Niat bagai membelah laut dengan tongkat. Niatmu belum
sekuat Musa.
Ya Allah… kenapa harus orang ini lagi? Aku sudah berusaha untuk
menghindar… Tolong aku! Aku tidak ingin jatuh hati! Aku takut Kau
cemburu! Matanya, bola matanya cokelat seperti ayahku. Kenapa dia tidak
pakai kacamatanya saja! Ya Allah…
Fahrobbi :
Dua
hari yang lalu, aku melihatnya sedang mengantri di bank yang sama
denganku. Aku pura-pura tidak melihatnya… Pura-pura itu rasanya
menyakitkan..
Rabu, 23 Januari 2013
Spasi
Seindah apa pun huruf terukir dapat bermakna apabila
tak ada jeda?
Dapatkah ia dimengerti jika tak ada spasi?
Bukankah kita baru bisa bergerak jika ada jarak?
Dan
saling menyayang bila ada ruang? Kasih sayang akan membawa dua orang semakin berdekatan,
tapi ia tak ingin mencekik, jadi ulurlah tali itu.
Napas akan melega dengan sepasang paru-paru yang tak
dibagi. Darah mengalir deras dengan jantung yang tidak dipakai dua kali. Jiwa
tidaklah dibelah, tapi bersua dengan jiwa lain yang searah.
Jadi, jangan
lumpuhkan aku dengan mengatasnamakan kasih sayang
Mari berkelana dengan rapat tapi tak dibebat.
Janganlah saling membendung apabila tak ingin tersandung.
Pegang tanganku, tapi jangan terlalu erat, karena aku
ingin seiring dan bukan digiring.
-Dewi 'Dee' Lestari-
11:07am
:jarak adalah sebuah garis batas, tetapi jalinan perasaan adalah penembusnya [Agustinus Wibowo]:
Langganan:
Postingan (Atom)