Sebagian dialog ini saya ambil dari cerita bersambung yang ada di Tumblr judulnya "Sandal yang sebelah" karya Ana M. Rufisa. Cerita ini belum selesai, kalau ingin membaca silakan klik disini
Cerita ini menggunakan sudut pandang orang pertama dari dua orang tokoh (Adisti dan Fahrobbi), dan dialog dibawah ini merupakan suara hati dari kedua tokoh yang diam-diam saling mengagumi dan (mungkin!) mencintai.
Fahrobbi :
Adakah hal lain yang lebih dekat dari kematian? Mencintamu hampir
membuatku mati. Mati dari hal-hal lain yang memang tak perlu
dibanggakan dari hidup ini selain-Nya. Aku banyak belajar darimu, bahkan
dari caramu berdiam. Ini adalah tahun yang memang tak perlu lagi aku
mencari yang lebih baik, karena di hatiku sudah Tuhan titipkan namamu,
dalam doa-doa, tentu saja dalam doa yang baik. Kau tidak perlu tahu, kau
hanya butuh menunggu. Aku akan bilang kepada ibumu, juga bapakmu,
“Sandal saya yang sebelah sudah saya temukan, bolehkah saya membawanya
pulang?”
Adisti :
Pulang katamu? Siapa yang kau tuju sebenarnya? Aku atau semua
perlengkapan yang ada padaku? Parasku hanyalah perlengkapan, dan itu
bisa kau temukan di mana saja kau mau. Tapi jika hatiku yang menjadi
tujuan, itu sulit, terlalu sulit. Kau harus banyak bersabar. Kau harus
siap-siap berkorban. Apa yang bisa kau korbankan untuk membawa pulang
sandalmu yang sebelah ini? Hati akan terbayar oleh hati. Dan sampai saat
ini aku masih melihat hati yang ragu. Entah ragu dalam hatimu, atau
ragu dalam hatiku. Kita memang terlihat saling meragu.
Fahrobbi :
Ragu… aku ragu? Itu karena kau terlalu sempurna, setidaknya di
mataku. Tidak banyak yang bisa aku korbankan… Itu karena aku tidak
pernah tahu sebelumnya bahwa kamulah orangnya, jika aku sudah tahu sejak
dulu, aku pasti akan mempersiapkan segalanya lebih awal.
Kalau hanya sekadar iman, aku punya itu, walau sudah banyak debu
yang menutupinya. Tapi masih bisa aku bersihkan, akan kurendam di dalam
air paling panas, agar semua noda hilang tanpa bekas.
Adisti :
Bukan sekadar iman. Kalau iman, semua laki-laki pasti
menyimpan itu. Yang belum kau simpan dalam dirimu adalah mencintaiku
karena iman, bukan karena nafsu yang terselubung iman. Aku harap kau
paham.
Fahrobbi :
cintaku ini belum juga atas nama iman? Lalu Tuhan yang
selalu mengalir dalam darahku, apa itu belum cukup untuk dikatakan iman?
Iman menurutmu nampaknya sulit aku definisikan. Tapi bukan berarti aku
berhenti sampai di sini. Akan kucari definisi iman itu sampai dapat…
Adisti :
Iman memang sudah ada sejak kau masih menjadi setetes air. Namun, jangan
kauartikan. Kau hanya perlu mem… mem…fungsikannya dengan benar. Ah, aku
bicara ini, padahal aku juga belum tahu apakah iman di dalam diriku ini
sudah benar atau belum. Aku bicara ini sebenarnya agar kau tahu, bahwa
aku butuh imam yang akan membimbingku pada iman yang sebenar-benar!
Fahrobbi :
Kita bisa memfungsikan itu bersama. Maksudku berdua. Ah, maksudku
bertiga, berlima, atau sebanyak apapun anak yang Tuhan titipkan kepada
kita… Apakah kau masih ragu padaku?
Adisti :
Iya, aku masih ragu. Meragukan niatmu.
Fahrobbi
Mari bershalat. Tuhan akan memberikan kita penjelasan, setidaknya ketenangan.
Adisti :
Setelah itu, kuatkan niatmu. Aku datang dari niat. Aku pun pergi
dengan niat. Kau belum sepenuhnya berniat. Yang aku tahu, kau masih di
batas harap. Niat bagai membelah laut dengan tongkat. Niatmu belum
sekuat Musa.
Ya Allah… kenapa harus orang ini lagi? Aku sudah berusaha untuk
menghindar… Tolong aku! Aku tidak ingin jatuh hati! Aku takut Kau
cemburu! Matanya, bola matanya cokelat seperti ayahku. Kenapa dia tidak
pakai kacamatanya saja! Ya Allah…
Fahrobbi :
Dua
hari yang lalu, aku melihatnya sedang mengantri di bank yang sama
denganku. Aku pura-pura tidak melihatnya… Pura-pura itu rasanya
menyakitkan..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar