Just be yourself

Jadilah dirimu sendiri, sebaik-baiknya DIRIMU!!

Jumat, 23 Desember 2011

MASUK ISLAM GARA-GARA PAKAIAN DALAM*




Selama ini mungkin kita lebih sering mendengar masuk islamnya seorang non muslim kedalam islam disebabkan hal-hal luar biasa dan penting. Seperti dokter Miller seorang penginjil Kanada yang masuk islam setelah menjumpai I’jaz Qur’an dari berbagai segi. Tapi yang ini benar-benar tidak biasa.  Ya… Masuk Islam gara-gara pakaian dalam!! 

          Fakta ini dikisahkan Doktor Sholeh Pengajar di sebuah Perguruan Tinggi Islam di Saudi, saat ditugaskan ke Inggris. Ada seorang perempuan tua yang biasa mencuci pakaian para mahasiswa Inggris termasuk pakaian dalam mereka. Suatu hari wanita tua ini menceritakan keheranannya selama bertugas pada Doktor Sholeh, perihal adanya pakaian dalam yang ‘aneh’. Ada beberapa pakaian dalam yang tidak berbau seperti mahasiswa umumnya, apa sebabnya? Maka ustadz ini menceritakan karena pemiliknya adalah muslim, agama kami mengajarkan bersuci setiap selesai buang air kecil maupun buang air besar , tidak seperti mereka yang tidak perhatian dalam masalah seperti ini.

          Betapa terkesan ibu tua ini dan tidak lama kemudian ia mengikrarkan syahadat, masuk islam dengan perantaraan pakaian dalam!!

*Dikutip dari buku “Cahaya di Balik Jiwa” karya Al-Faruq Ibnu Zainuddin




"Dan pakaianmu sucikanlah, dan perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah." (al-Muddatstsir [74]: 4-5) 

 “Siapa yang mengenakan pakaian hendaklah dengan yang bersih”. (HR. Ath-Thahawi)

”Sesungguhnya Allah Ta’ala adalah baik dan mencintai kebaikan, bersih dan mencintai kebersihan, mulia dan mencintai kemuliaan, dermawan dan mencintai kedermawanan. Maka bersihkanlah halaman rumahmu dan janganlah kamu menyerupai orang Yahudi.” (HR. Tirmidzi)


Hidayah tidak kenal orang,tempat maupun waktu dan hanya Allah-lah yang berhak menentukan bagaimana hidayah itu sampai ke hamba-Nya. Setiap orang mempunyai kisah yang berbeda.

Minggu, 11 Desember 2011

Empat Bersaudara..


*Selamanya akan menganggap seperti ini..
  berempat bukan bertiga..
  kau akan tetap ada di hati-hati kami..
  Meskipun kau sudah kembali ke sisi-Nya..

in memoriam :
Dedi Dermawan (foto ke-2 dari kiri)
01 Oktober 1983-16 September 2000

Kamis, 08 Desember 2011


KEKERASAN PADA TENAGA KERJA WANITA DI LUAR NEGERI
 DAN SOLUSINYA*
Oleh : Mahdaniah

Pendahuluan

            Dari hari ke hari jumlah Tenaga Kerja Wanita semakin banyak. Ini menandakan peran sebagai pencari nafkah tidak hanya bisa dilakukan oleh kaum pria saja tapi kaum wanita pun juga bisa berperan besar dalam menghidupi keluarganya. Menurut Suma’mur (2009)1 tidak sedikit bahkan telah banyak wanita yang dapat mencapai kedudukan dan sukses besar dalam lapangan apa pun, baik pada sektor pemerintahan maupun swasta bahkan pada gelanggang politik sekalipun.
Namun hal ini berbanding terbalik dengan keadaan tenaga kerja wanita migrant yang bekerja di luar negeri. Meningkatnya angka kemiskinan di Indonesia setelah terjadinya krisis moneter tahun 1998, membuat banyak perempuan Indonesia, khususnya yang berada di desa-desa mengadu nasib ke luar negeri Dan dampaknya pun kasus-kasus kekerasan yang menimpa TKW di luar negeri semakin meningkat. Kasus kekerasan ini bukan hal baru bagi pemerintah Indonesia.
Jika para tenaga kerja wanita yang bekerja di dalam negeri bisa mendapatkan perlindungan dari pemerintah terutama dari UU No.13 Tahun 2003, tidak dengan para TKW yang bekerja di luar negeri, dalam undang-undang ini belum ada aturan jelas yang mengkhususkan perlindungan pada para TKW. Bahkan ketika Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono berpidato pada saat Konferensi Internasional Buruh yang digelar oleh International Labour Organization (ILO) pada 14 Juni 2011 yang lalu. Dihadapan semua perwakilam Negara ILO beliau mengatakan akan melindungi para buruh migrant Indonesia yang ada diluar negeri. Namun, pidato ini menjadi omong kosong karena seminggu kemudian di Timur Tengah, seorang TKW tengah dihukum pancung oleh negara tersebut.2  Kejadian ini, membuktikan bahwa Indonesia tidak pernah serius menangani TKW.
Berbeda dengan Filipina, beberapa tahun yang lalu ketika para tenaga kerja Filipina dipulangkan oleh Malaysia karena dianggap pendatang gelap, presiden Filipina pada saat itu Gloria Macapagal Arroyo menjemput langsung para pekerja tersebut. Hal ini menunjukkan pemimpin di negara itu merasakan penderitaan rakyatnya. Dan seharusnya Indonesia bisa belajar dari Filipina bahwa para TKW yang menjadi korban kekerasan tidak meminta janji-janji yang omong kososng, tapi tindakan nyata yang bisa memerdekakan mereka.
Dalam tulisan kali ini, penulis akan membahas masalah-masalah mengenai TKW yang bekerja di luar negeri, khususnya yang menyangkut kasus kekerasan yang dialami banyak TKW. Selain itu, dalam paper ini akan dibahas beberapa solusi yang bisa diterapkan untuk menangani masalah TKW ini.

Kekerasaan pada TKW di Luar Negeri
Sampai detik ini, pengiriman tenaga kerja Indonesia untuk bekerja ke luar negeri masih tetap berlangsung. Maraknya kasus-kasus kekerasan pada TKI, tidak membuat mereka mengurungkan niatnya menjadi pahlawan devisa. Ungkapan sebagai pahlawan devisa yang terdengar membanggakan tapi tidak untuk TKI yang ada di luar negeri khususnya para wanita Indonesia yang merelakan hidupnya sebagai TKW. Sudah sangat banyak kasus-kasus kekerasan yang terjadi pada TKW baik yang dipublikasikan oleh media maupun yang tersembunyi.
Kekerasan pada TKI, khususnya TKW sudah menjadi cerita lama bagi pemerintah Indonesia. Kekerasan ini tidak hanya terjadi pada saat bekerja di luar negeri, namun pada proses sebelum pemberangkatan sampai para TKI kembali ke  Indonesia. Menurut Helfi Agustin3, kekerasan ini meliputi kekerasan ekonomi (tidak diberi gaji sama sekali), kekerasan fisik (berupa pemukulan), kekerasan psikologis (berupa hinaan atau makian) dan kekerasan seksual (diperkosa).  Sebelum Pemberangkatan, gerak para calo maupun agen TKI ini sudah sangat terorganisir dan mereka menyebar  di titik-titik keberangkatan TKI seperti  nunukan (Kaltim), Entikong (Kalbar), Tanjung Asahan (Sumut) dan Batam (Riau). Mereka ini yang menyerahkan para TKI pada calo/agen di daerah tujuan TKI dan biasanya jika di Malaysia mereka mendapat 1500-2000 Ringgit atau sekitar Rp 4 Juta-Rp 5,4 juta per orang.4 Hasil yang cukup menggiurkan untuk menjadikan seseorang berprofesi sebagai ‘penjual’ para TKI.
Setelah diserahkan kepada agen di negara setempat, babak baru para TKI dimulai. Tidak banyak dari mereka yang betul-betul bekerja seperti yang dijanjikan. Mereka biasanya dipaksa menjadi pelacur bahkan ada yang diperkosa oleh agennya sendiri. Beberapa TKI yang menjadi pembantu rumah tangga, tidak pernah mendapat gaji sepeser pun dari majikannya bahkan ada yang sampai 2 tahun bekerja tidak juga diberikan gaji. Ini dikarenakan para majikan tersebut membayar kepada agen sebesar 3500-4000 ringgit4 dan mereka menganggap uang tersebut harus dipotong dari gaji mereka untuk menutupi biaya dari yang telah dibayarkan kepada agen. Tidak hanya itu, paspor mereka  juga ditahan sehingga mereka tidak bisa lari dari majikan tersebut.
Faktanya, yang lebih banyak mendapat kekerasan adalah para tenaga kerja wanita. Umumnya mereka mendapat kekerasan seksual maupun fisik. Berbeda dengan tenaga kerja laki-laki mereka biasanya hanya mendapat kekerasan ekonomi maupun psikologis seperti penahanan gaji dan bentakan/makian. Pada pertemuan kesehatan dunia (World Health Assembly)  tahun 1996 menyatakan kekerasan menjadi prioritas kesehatan dunia.3 Maraknya kekerasan pada tenaga kerja wanita, sudah diperkirakan oleh WHO bahwa 1 dari 5 wanita  kekerasan berada pada urutan 19 penyebab DALY (Disability Adjusted Life Years) dan akan meningkat menjadi urutan 12 pada tahun 2020.5
Kekerasan terhadap perempuan  meliputi segala tindakan kekerasan berbasis gender yang berakibat atau mungkin berakibat menyakiti secara fisik,seksual, mental atau penderitaan terhadap perempuan termasuk ancaman dari tindakan tersebut, pemaksaan atau perampasan semena-mena kebebasan baik yang terjadi di lingkungan masyarakat maupun dalam kehidupan pribadi (Deklarasi PBB tentang Anti Kekerasan terhadap Perempuan Pasal 1, tahun 1993).6
Kekerasan berbasis gender dan segala bentuk penyerangan maupun eksploitasi seksual termasuk yang merupakan hasil olahan prasangka/anggapan budaya adalah pelanggaran terhadap harkat dan martabat manusia dan oleh karenanya harus dihapuskan (Program Aksi dalam salah satu Deklarasi Konferensi Wina tahun 1993).6 Pernyataan ini menunjukkan kekerasan pada wanita sudah sangat melanggar martabat manusia apalagi tenaga kerja wanita di luar negeri banyak yang diperlakukan tidak manusiawi bahkan disejajarkan dengan binatang.
Kekerasan pada TKW yang umumnya bekerja sebagai pembantu rumah tangga dilatarbelakangi oleh perbedaan budaya dengan majikan maupun keterampilan7 yang dimiliki dan status pendidikannya. Perbedaan budaya ini termasuk perbedaan bahasa, biasanya TKW illegal yang memang tidak pernah mendapatkan pelatihan akan sangat mudah salah paham dengan majikannya. Ini yang menyebabkan apa yang dikerjakan oleh TKW tidak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh majikan. Namun tidak hanya terjadi pada TKW illegal saja, TKW legal pun yang telah mendapatkan pelatihan sebelumnya kerap mendapatkan kekerasan juga. Karena materi-materi yang mereka dapatkan sebelum berangkat tidak sesuai dengan apa yang mereka alami ditempat kerja. Ini menandakan pelatihan-pelatihan yang diberikan pada para TKW hanya sebatas formalitas.
Berbeda dengan TKW yang bekerja sebagai pelacur, mereka mendapat kekerasan karena sebagian besar menolak untuk dipekerjakan sebagai pelacur. Dan akibatnya mereka dipukul dan disiksa oleh tukung pukul yang sudah disewa oleh agen para TKW tersebut yang sekaligus merangkap sebagai germo. TKW yang terjerumus ini umumnya tertipu oleh para agen, mereka dijanjikan bekerja sebagai pelayan restoran maupun di salon . Namun, sesampainya disana mereka dipaksa bekerja sebagai budak seks. Ada yang berhasil menolak dan melarikan diri, tapi banyak juga yang pasrah menjadi pelacur. Mereka menganggap walaupun sudah terjerumus, pekerjaan ini yang mudah dilakukan oleh mereka yang mempunyai pendidikan rendah.
Dampak kekerasan terhadap TKW

            TKW yang mendapat kekerasan fisik, akan menimbulkan luka yang dapat dilihat seperti bekas memar, bahkan ada yang sampai cacat. Seperti kasus Nirmala Bonat, TKW asal NTT yang disiksa oleh majikannya sendiri dan luka tersebut membekas pada tubuhnya8 .Tidak hanya berakibat cacat, tapi juga berakibat pada kematian. Kasus ini sangat banyak terjadi, umumnya mereka bunuh diri karena sudah tidak tahan lagi dengan siksaan majikan. Seorang TKW asal Kediri, Rosminah (20) yang meninggal karena digigit anjing majikannya setelah tiga hari dihukum tanpa makan dan minum9. Sebelumnya, dia disuruh tidur di kandang anjing tersebut dan karena lupa merantainya, dia pun menjadi santapan oleh anjing-anjing yang kelaparan itu. Sungguh sangat miris mengetahui hal ini, bahwa yang bergelar ‘pahlawan devisa’ justru diperlakukan lebih rendah dari binatang.
            Kekerasan yang dialami para TKW juga bisa menimbulkan perubahan pola menstruasi, ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Mira Suminar,dkk5 bahwa wanita korban kekerasan mengalami perubahan pola menstruasi dua hingga tiga kali bahkan ada yang volume menstruasinya menjadi lebih banyak dan perutnya terasa sakit. Perubahan menstruasi ini sering terjadi pada saat mereka stress. Menurut Suzane dan Brenda (Mira Suminar,dkk,2005)5 menyatakan bahwa stress dapat menghambat produksi hormon gonadotropin sehingga produksi folikel stimulating hormon (FSH) dan lutenizing hormon (LH) terhambat. Terganggunya produksi estrogen dan progesterone menyebabkan perubahan pada siklus menstruasi.
Selain berdampak pada fisik para TKW, kekerasan juga berdampak pada psikologis dirinya. Hal ini terutama akibat kekerasan seksual yang sering dialami oleh para TKW. Mereka sangat trauma dan banyak yang tidak mau kembali lagi untuk bekerja. Mereka menjadi tertutup dan enggan berbicara kepada orang lain. Seperti yang terjadi pada FA (TKW asal Kalbar), dia diperkosa oleh agen yang membawanya dan akibatnya dia mengalami depresi mental cukup berat. Selama berbulan-bulan dia tinggal di kantor penghubung KJRI, dia tidak mau bicara, bahkan terus-menerus menangis meratapi tragedi yang menimpa dirinya. Makanan pun jarang dimakan, dan beberapa kali mencoba bunuh diri.4
            Berdasarkan penelitian yang dilakukaan Helfi Agustin (2006)3, para korban kekerasan merasakan kekecewaan mendalam dan juga terlihat perasaan tidak berdaya. Beberapa korban lain menyatakan mengalami stress/tekanan psikis akibat teriakan dan makian majikan. Salah satu korban mengalami depresi berat, tetapi berkembang rumor di dalam masyarakat bahwa korban tersebut mengalami depresi sebagai akibat suntik pana yang dilakukan pihak petugas di Malaysia. Suntik pana ini sempat menjadi rumor diantara para Tenaga Kerja Indonesia, suntik ini diyakini dapat mengakibatkan kehilangan ingatan dan bingung.
            Selain berdampak pada korban, hal ini juga berdampak pada keluarganya. Korban yang mendapat kekerasan dan menimbulkan luka-luka yang serius sehingga butuh perawatan  intensif  akan membutuhkan banyak biaya. Terkadang para korban ini tidak mendapatkan upah selama bekerja, ketika pulang kembali ke Indonesia dengan membawa luka-luka yang cukup parah dan tidak membawa uang sepeser pun, keluarganya lah yang harus menanggung semua biaya perawatan maupun pengobatannya. Hanya sebagian kecil saja yang dibiayai oleh pemerintah, umumnya korban-korban yang sudah terpublikasi oleh media.
            Selain itu, korban yang meninggal membuat keluarga yang ditinggal merasa kehilangan. Apalagi korban tersebut, satu-satunya tulang punggung keluarga. Dan membuat keluarga yang ditinggalkan kehilangan sumber pendapatan mereka dan semakin terjerat dalam kemiskinan. Sebagian besar korban berasal dari keluarga yang kurang mampu dan tertarik menjadi TKW dengan maksud untuk memperbaiki kondisi ekonomi keluarganya. Untuk korban yang sudah berkeluarga, ini akan berakibat pada   kondisi suami maupun anak-anaknya. Si suami akan mengambil alih semua pekerjaan rumah tangganya dan ini akan menjadi berat karena bagaimanapun peran wanita sangat besar dalam keluarga. Untuk anak-anak yang ditinggalkan mereka akan kehilangan sosok seorang ibu yang sudah berperan besar dalam proses pertumbuhannya, dan sosok ini tidak bisa digantikan oleh siapa pun.

Solusi penanganan masalah TKW

            Masalah TKW merupakan masalah yang tidak ada habisnya untuk dibicarakan. Untuk itu perlu ada penanganan yang khusus untuk masalah ini. Apalagi resolusi WHO yang sudah dibahas diatas mengarah pada pengembangan rencana upaya pencegahan kekerasan berbasis pendekatan kesehatan masyarakat yang menekankan upaya pencegahan pada tingkat primer sebelum peristiwa tersebut terjadi. Kesehatan masyarakat berperan pada upaya advokasi meningkatkan perhatian dan kesadaran masyarakat dan berbagai pihak terkait bahwa kekerasan adalah sebuah realita yang dapat dicegah.3 Dan hal ini sangat cocok dengan peran seorang tenaga kesehatan masyarakat yang mengedepankan konsep preventif.
Penanganan masalah ini bisa dibagi menjadi 3 tahap, yaitu :
1.    Sebelum proses keberangkatan
Pada tahap ini, bisa disebut sebagai tahap pencegahan tingkat primer. Karena jika penanganan pada tahap ini bisa berhasil, maka diharapkan tidak ada lagi kasus kekerasan yang terjadi pada TKW. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan yaitu :
·      Memberikan Pelatihan/pengembangan dan pendidikan kepada calon TKW
Program semacam ini sangat penting, karena rata-rata para calon TKW berasal dari daerah dan kurang mempunyai keterampilan yang cukup. Seperti penggunaan teknologi yang belum mereka kuasai, dan terkadang ini yang memicu terjadinya kekerasan pada TKW. Hal ini juga didukung dengan tingkat pendidikan yang rendah. Untuk itu perlu dibentuk suatu balai pendidikan dan pelatihan khusus TKW yang mempunyai kurikulum yang sudah ada standarnya dan diawasi langsung oleh Depnaker. Dan perlu diwajibkan juga kepada setiap PJTKI (Pengerah Jasa Tenaga Kerja Indonesia) untuk mempunyai balai pendidikan tersebut.
Menurut Ashar Sunyoto (2009)10, perlu adanya tahap-tahap untuk menyusun suatu program pelatihan/pengembangan, yaitu :
-       Tahap 1. Identifikasi kebutuhan pelatihan atau studi pekerjaan (job study)
-       Tahap 2. Penetapan sasaran pelatihan/pengembangan
-       Tahap 3.Penetapan kriteria keberhasilan dengan alat ukurnya
-       Tahap 4.Penetapan metode pelatihan/penyajiannya
-       Tahap 5. Percobaan dan revisi
-       Tahap 6. Implementasi dan evaluasi
Dengan adanya tahap-tahap seperti diatas, diharapkan pelatihan yang dilakukan dapat efektif dan tidak salah arah. Karena ada beberapa kasus, para calon TKW diberi pelatihan yang tidak sesuai dengan kondisi pekerjaannya.
·           Mengikutsertakan para TKW pada program asuransi
Program ini sangat bermanfaat bagi para TKW, karena dapat membantu TKW apabila mereka mengalami kekerasan. Bagi mereka yang meninggal karena kecelakaan sebelum pemberangkatan, ahli warisnya berhak menerima santunan Rp 6 juta dan meninggal karena sakit Rp 3 juta. Kerugian dan jiwa TKW juga ditanggung selama percobaan tiga bulan dan setelah kontrak kerja berakhir dengan santunan berkisar Rp 3juta-Rp 6juta. Asuransi juga menjamin TKW yang mengalami penganiyaan oleh pengguna jasa dengan bukti-bukti fisik, bukti medis, surat keterangan dari yang berwenang, dan kwitansi asli biaya perawatan sampai sembuh dan tiket pesawat kelas ekonomi kembali ke Indonesia.4
Hal ini sejalan dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, yang dapat memberikan perlindungan terhadap TKW. Karena dalam undang-undang tersebut menyebutkan bahwa pekerja berhak memperoleh perlindungan dan jaminan dalam bentuk santunan, berupa uang sebagai pengganti sebagian penghasilan yang hilang atau berkurang, dan pelayanan sebagai akibat dari peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja, seperti kecelakaan kerja, sakit, hamil,bersalin, hari tua dan meninggal.11
Namun pada kenyataannya, jaminan ini hanya diberikan pada tenaga kerja yang sifatnya formal. Dan, para TKW yang sebagian besar berstatus illegal tidak dapat menikmati pelayanan ini. Untuk itu, pemerintah perlu membentuk suatu perusahaan yang khusus menangani pemberian asuransi kepada para TKW, agar para TKW mendapatkan perlindungan yang sesuai dengan undang-undang diatas dan proses pemberiannya pun bisa dengah mudah diawasi oleh pemerintah. Karena banyak kasus, perusahaan-perusahaan asuransi yang bekerja sama dengan para calo maupun PJTKI (Pengerah Jasa Tenaga Kerja Indonesia) hanyalah perusahaan-perusahaan fiktif dan ini membuktikan, para calo tersebut ingin membuat kesan bahwa TKW yang direkrut sudah melalui proses yang berlaku atau agar terkesan para TKW tersebut legal.  
·           Memperbaiki Proses pengiriman TKW
Hal ini perlu dilakukan, karena yang terjadi calon TKW banyak yang ditipu oleh agen/calo yamg merekrut mereka. Banyak dari mereka sesampainya dinegara tujuan justru dijadikan pelacur. Pemerintah perlu menetapkan standarisasi dan akreditasi terhadap setiap PJTKI yang ada. Dan yang berhak melakukan pengiriman TKW hanya yang sudah terakreditasi oleh pemerintah. Dan dari sinilah perlu dibuat suatu prosedur pengiriman resmi yang hanya bisa dilakukan oleh PJTKI yang sudah terakreditasi. Selain itu, perlu adanya lembaga pengawas yang bisa mengawasi proses pengiriman TKW dari proses perekrutan sampai diserahkan ke majikan masing-masing.
2.    Selama di tempat kerja
TKW yang sudah berada di negara tujuan dan diserahkan kepada majikan masing-masing harus selalu diawasi dan dilindungi. Pengawasan ini tidak hanya dilakukan terhadap para TKW saja namun juga pada majikannya. Ini dilakukan agar tidak terjadi tindak kekerasan yang dilakukan majikan. Yang harus melakukan pengawasan ini adalah perwakilan Indonesia di setiap Negara-negara tujuan TKW, seperti konsulat atau kedutaan Indonesia di Negara tersebut. Yang penting dilakukan adalah mendata semua majikan-majikan yang menggunakan jasa TKW seperti identitasnya, alamat rumah, nomor telepon dll. Hal ini akan memudahkan pengawasan terhadap pekerja maupun majikan sehingga mempercepat proses penanganan jika ada pekerja yang mendapat kekerasan dari majikan. Selain itu, pengawasan ini bisa berupa melihat/meneliti isi kontrak kerja antara pekerja dan majikan. Jika tidak sesuai dan terjadi pelanggaran maka harus dikenakan sanksi ataupun melalui proses peradilan.
3.    Setelah kembali ke Indonesia
·      Membentuk Lembaga bimbingan konseling
     Hal ini sangat perlu dilakukan karena sebagian besar, para TKW yang kembali ke Indonesia adalah mereka yang telah mendapat kekerasan dari majikannya. Umumnya mereka menderita kekerasan fisik maupun psikologis. Tidak jarang dari mereka yang menderita trauma yang berkepanjangan dan depresi berat.
     Bimbingan dan Konseling merupakan upaya proaktif dan sistematik dalam memfasilitasi individu mencapai tingkat perkembangan yang optimal, pengembangan perilaku yang efektif, pengembangan lingkungan dan peningkatan fungsi atau manfaat individu dalam lingkungannya (Fenti Hikmawanti,2011).12
      Metode konseling ini lebih menekankan kepada perubahan dan perbaikan perilaku individu tersebut dan pelayanannya pun bersifat fleksibel juga tidak kaku. Ini dilakukan agar para korban bisa merasa nyaman dan tidak takut menceritakan apa yang menjadi masalahnya. Selain itu, sikap seorang konselor yang bersahabat atau ramah dan pertanyaan-pertanyaan yang diberikan tidak bersifat menekan akan cepat disukai para korban. Sehingga proses pemulihan kondisi psikologisnya pun tidak memakan waktu lama.
     Dari sinilah pentingnya peran seorang konselor (orang yang memberikan konseling), dia yang menentukan apakah korban/kliennya bisa terbuka dan proses penyembuhannya pun berjalan cepat atau justru sebaliknya sikap konselor yang terlalu tegas dan memandang korban sebagai seseorang yang harus dinasehati dan bukan dianggap sebagai teman akan membuat proses penyembuhannya berjalan lama. Dan mungkin saja korban sudah tidak mau lagi ikut bimbingan konseling.
     Dibawah ini merupakan beberapa hal yang dapat membedakan mana konselor yang baik/efektif dan konselot yang tidak efektif menurut Barbara F.Okun (Sofyan S.Willis:2004 dalam Fenti Hikmawati:2011).12
Tabel 1. Perilaku verbal
Efektif
Tidak Efektif
Menggunakan kata-kata yang dapat dipahami klien
Memberi Nasihat
Memberikan refleksi dan penjelasan terhadap pernyataan klien
Terus menerus menggali dan bertanya terutama bertanya “mengapa”
Penafsiran yang baik/sesuai
Bersifat menentramkan klien
Membuat kesimpulan-kesimpulan
Menyalahkan klien
Merespons pesan utama klien
Menilai Klien
Memberi dorongan minimal
Membujuk Klien
Memanggil klien dengan nama panggilan atau “Anda”
Menceramahi
Memberi Informasi sesuai keadaan
Mendesak klien
Menjawab pernyataan tentang diri konselor
Terlalu banyak berbicara megenai diri sendiri
Menggunakan humor secara tepat tentang pernyataan klien
Menggunakan kata-kata yang tidak dimengerti
Penafsiran yang sesuai dengan situasi
Penafsiran yang berlebihan

Sikap merendahkan klien

Sering menuntut/meminta klien

Menyimpang dari topic

Sok intelektual

Analisis yang berlebihan

Selalu mengarahkan klien
              Sumber : Barbara F.Okun (Sofyan S.Willis:2004 dalam Fenti Hikmawati:2011)

Tabel 2. Perilaku Nonverbal
Efektif
Tidak efektif
Nada suara disesuaikan dengan klien (tenang,sedang)
Berbicara terlalu cepat atau terlalu pelan
Memelihara kontak mata yang baik
Duduk menjauh dari klien
sesekali menganggukkan kepala
Senyum menyeringai/senyum sinis
Wajah yang bersemangat
Menggerakkan dahi
Kadang-kadang member isyarat tangan
Cemberut
Jarak dengan klien relatif dekat
Merapatkan mulut
Ucapan tidak terlalu cepat/lambat
Menggoyang-goyangkan jari
Duduk agak condong ke arah klien
Menguap
Sentuhan (Touch) disesuaikan dengan usia klien dan budaya local
Gerak-gerak isyarat yang mengacaukan
Air muka ramah dan senyum
Menutup mata atau mengantuk

Nada suara tidak menyenangkan

Membuang pandangan
              Sumber : Barbara F.Okun (Sofyan S.Willis:2004 dalam Fenti Hikmawati:2011)

               Ada beberapa macam tipe-tipe konseling menurut Pietrofesa,dkk (Andi Mappiare AT,2010)13 yang diklasifikasikan dari segi waktu penanganan yaitu proses pemecahan masalah individu, dimana mungkin diperlukan waktu segera atau relative panjang. Tipe-tipe dibawah ini bisa diterapkan kepada para TKW.
1.    Konseling krisis
     Konseling ini khusus menangani korban yang frustasi/depresi dan yang sudah tidak mempunyai tujuan hidup lagi. Dan ini dipicu oleh masalah-masalah seperti para TKW yang menjadi korban perkosaan, disiksa majikan, hukuman penjara hingga percobaan bunuh diri. Konselor perlu menciptakan suasana yang meyakinkan dan mendukung sepenuhnya bahwa masih ada harapan untuk korban, sehingga dapat meredakan kecemasan korban. Konseling ini harus segera mungkin dilakukan agar korban tidak terjerumus dalam hal-hal yang tidak diinginkan.
2.    Konseling Fasilitatif
     Konseling ini membantu korban untuk menemukan kelebihan-kelebihan yang dimiliki maupun minat dan bakat individunya. Ini bisa diterapkan kepada para TKW yang trauma untuk kembali ke luar negeri namun masih ingin bekerja lagi. Biasanya para TKW menganggap dirinya hanya bisa bekerja sebagai pembantu rumah tangga saja. Akan tetapi setiap orang mempunyai keahlian masing-masing. Dalam konseling ini, konselor fungsinya sebagai fasilitator memberikan pengarahan-pengarahan dan membantu korban mencari keahliannya yang bisa menjadi nilai lebih untuk dirinya.
3.    Konseling Preventif
     Konseling ini sifatnya mencegah dan dapat diterapkan kepada para TKW sebelum diberangkatkan ke luar negeri. Peran konselor disini memberikan informasi-informasi mengenai hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan yang akan dijalaninya nanti. Konselor juga harus memberikan motivasi-motivasi dan menumbuhkan kepercayaan diri pada para TKW agar setibanya disana mereka dengan mudah beradaptasi dengan kondisi di negara tersebut.
4.    Konseling Developmental
     Konseling ini sifatmya berkelanjutan/kontinyu dan membangun kesadaran para TKW bahwa mereka bertanggung jawab terhadap apa yang menjadi pilihannya. Ini akan membantu para TKW untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama ketika ia tergiur untuk bekerja di luar negeri dan berpikir ulang jika ingin mengambil suatu keputusan. Konselor juga dapat bekerja sama dengan keluarga para TKW karena bagaimanapun keluarga merupakan orang terdekat dan bisa terus memantau perkembangan diri TKW.
               Program bimbingan dan konseling ini bisa diterapkan di rumah sakit, dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Daisy Novira (2005)6, disalah satu rumah sakit di Bengkulu yaitu RSUD Dr.M.Yunus terdapat sebuah unit yaitu PKT&VCT (Pelayanan Krisis Terpadu & Voluntary Counseling and Testing) dibentuk pada tahun 2004. Unit ini memberikan pelayanan terhadap korban akibat kekerasan dan ini bisa diterapkan kepada TKW. Sehingga TKW yang sedang menjalani perawatan akibat luka fisiknya juga dapat diberikan layanan konseling. Namun, hal ini masih terkendala pada kesiapan rumah sakit untuk memfasilitasi pelayanan seperti ini dan kurangnya tenaga psikolog yang ada di rumah sakit.
               Yang terpenting dalam metode konseling ini adalah bimbingan yang berbasis nilai-nilai agama. Sebagai contoh adalah model konseling islami. Konseling Islami adalah suatu bentuk konseling yang prosesnya berlandaskan Al-Qur’an dan sunah Rasul. Tujuan konseling islami ini untuk mengingatkan kepada klien (dalam hal ini para TKW) bahwa cobaan-cobaan yang dialami datangnya dari Allah dan jika ingin berhasil melewatinya, harus juga kembali kepada Allah.  Seperti yang dikatakan Ibnu Athaillah, “Min ‘alamatin nujhi fin nihayati ar ruju’u ilallahi fil bidayati” artinya Salah satu tanda sukses di akhir perjalanan adalah kembali  kepada Allah di awal perjalanan.
              Ada beberapa hal yang ingin dicapai dari metode konseling islami ini menurut Az-Zahrani:2005 (Fenti Hikmawanti,2011)12, yaitu :
          1.    Membina keimanan para klien hingga mampu merasa aman, tenang dan ridha dengan segala     apa yang ditakdirkan oleh Allah.
2      Menjadikan suri tauladan yang baik yang sesuai dengan ketentuan Allah
3      Menanamkan akhlak yang mulia, seperti saling menolong, toleransi dan juga rasa optimis
4      Menanamkan kepada diri klien bahwa cara-cara mengatasi permasalahan yang tidak sesuai dengan syariat islam, seperti paranormal dan sihir diharapkan agama dan tidak akan berhasil bagaimanapun caranya.
Solusi diatas tidak dapat terlaksana dengan baik jika tidak ada kerjasama antara pemerintah dengan pihak-pihak terkait. Adanya dukungan dan kontribusi pemerintah dalam menangani kasus ini diharapkan akan menekan kasus kekerasan yang terjadi pada TKW di luar negeri.



DAFTAR PUSTAKA
1. Suma’mur. 2009. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (HIPERKES). Jakarta: CV.Sagung Seto. 
2.Setiawan, Aris., dkk. 2011. Pidato Presiden SBY Dan Eksekusi Mati Ruyati. [online] http://nasional.vivanews.com/news/read/227820-pidato-presiden-sby-dan-eksekusi-mati-ruyati Diakses tanggal 02 Desember 2011 
3. Agustin,Helfi. Kekerasan pada Setiap Tahap Penempatan TKI Asal Propinsi Sumatera Barat tahun 2006, dalam Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vo.1 No.4 Februari 2007. 
4. Wawa, Jannes E. 2005. Ironi Pahlawan Devisa (Kisah Tenaga Kerja dalam Laporan Jurnalistik). Jakarta : Penerbit Buku Kompas. 
5. Suminar, Mira., dkk. Akibat Kekerasan Terhadap 6 Orang Istri Pada Aspek Fisik, Psikologis, Sosial, dan Ekonomi yang Berdomisili di Wilayah Jakarta dan Bandung tahun 2004, dalam : Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia Vol.33 (3), Agustus 2005 
6. Novira, Daisy. Pengembangan Model Pelayanan Terpadu untuk Perempuan dan Anak Korban Kekerasan, dalam : Jurnal MARSI Vol. VI No.1 Februari 2005 
7.Sukesi, Keppi. Pekerja Rumah Tangga: Masalah dan Solusi Pemberdayaan, dalam : Jurnal Pusat Studi Wanita Vol.XII No.2 September 2008. [online] http://jurnal.umy.ac.id/index.php/nabila/article/viewArticle/6 Diakses tanggal 10 Oktober 2011. 
8.Amalo, Palce. 2010. Penganiayaan TKI : Trauma Masih Hinggapi Nirmala Bonat. [online] http://www.mediaindonesia.com/read/2010/11/11/182600/92/14/Trauma-masih-Hinggapi-Nirmala-Bonatr  Diakses tanggal 02 Desember 2011
9.Taufiq, Fatkhurrohman. 2011. Rosminah, TKW Yang Tewas Dimakan Anjing Majikannya. [online] http://www.tempo.co/read/news/2011/07/01/180344216 /Rosminah-TKW-yang-Tewas-Dimakan-Anjing-Majikannya Diakses tanggal 02 Desember 2011  
10. Munandar, A.S. 2010. Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press). 
11.Hamid, Adnan. Perlindungan dan Hak Tenaga Kerja Indonesia yang Bekerja di Luar Negeri : Suatu Harapan dan Tantangan. Themis Volume 1 No.1 Oktober 2006. [online]  http://r epository.univpancasila .ac.id/index.php?option=com _docman& task=docdownload&gid=519&Itemid=9   Diakses tanggal 10 Oktober 2011. 
12.  Hikmawati, Fenti. 2011. Bimbingan Konseling (Edisi Revisi). Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada. 13.Mappiare A.T.,Andi. 2010. Pengantar Konseling dan Psikoterapi (Edisi Kedua). Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.

*Diajukan sebagai tugas mata kuliah Psikologi Industri