Just be yourself

Jadilah dirimu sendiri, sebaik-baiknya DIRIMU!!

Sabtu, 30 November 2013

Mencintai Penanda Dosa

Bismillah..

cerita dibawah saya kutip dari buku Salim A. Fillah yang berjudul "Menyimak Kicau Merajut Makna". Buku ini isinya tentang kumpulan twett akun @salimafillah, karena isinya beda-beda kisah saya bacanya secara acak dan seorang adik menyuruh saya baca kisah yang berjudul "Mencintai Penanda Dosa". Jujur, setelah saya baca kisah ini saya masih tidak percaya kalo hal itu benar-benar terjadi tapi saya sadar hal-hal itu bisa terjadi pada siapa saja dan ini nyata, sungguh syaitan sangat ahli dan tidak 'pandang bulu' untuk menjerumuskan manusia dalam kemaksiatan. Saya termenung lamaaaa sekali dan beristighfar berulang kali setelah baca kisah ini, semoga ini jadi pelajaran bagi kita semua dan bisa menjaga diri dengan baik terutama untuk diri saya sendiri.

Kisah ini saya persingkat karena terlalu panjang jika dituliskan dalam blog, yang ingin baca lengkap ceritanya silahkan baca bukunya ^.^

>> Kini izinkan saya bercerita tentang seorang wanita yang selalu mengatakan bahwa dirinya jiwa pendosa. Kita mahfum, bahwa tiap pendosa yang bertaubat, berhijrah, dan berupaya memperbaiki diri, umumnya tersuasanakan untuk membenci apa-apa yang terkait  dengan masa lalunya. Hatinya tertuntun untuk tak suka pada tiap hal yang berhubungan dengan dosanya. Tetapi bagaimana jika ujian berikut setelah taubat adalah untuk mencintai penanda dosanya? Dan wanita dengan jubah panjang dan jilbab lebar warna ungu itu memang berjuang untuk mencintai penanda dosanya.

"saya hanya ingin berbagi dan mohon doa agar dikuatkan," ujarnya saat kami bertemu di suatu kota selepas sebuah acara yang menghadirkan saya sebagai penyampai madah. Didampingi ibunda dan adik lelakinya, dia mengisahkan lika-liku hidup yang mengharu-birukan hati. Meski sesekali menyeka wajah dan mata dengan sapu tangan, saya insyaf, dia jauh lebih tangguh dari saya. "Ah, surga masih jauh."

Kisahnya dimulai dengan cerita indah di semester akhir kuliah. Dia Muslimah yang taat, aktivis dakwah yang tangguh, akhwat yang jadi teladan di kampus, dan penuh dengan prestasi yang menyemangati rekan-rekan. Kesyukurannya makin lengkap tatkala prosesnya untuk menikah lancar dan mudah. Dia tinggal menghitung hari. Detik demi detik serasa menyusupkan bahagia di napasnya. Ikhwan itu, sang calon suami, seorang lelaki yang mungkin jadi dambaan semua sebayanya. Dia berasal dari keluarga tokoh terpandang kaya raya, tapi jelas tak manja. Dikenal juga sebagai "pembesar" di kalangan para aktivis, usaha yang dirintisnya sendiri sejak kuliah telah mengentas banyak kawan; sungguh membanggakan. Awal-awal, si Muslimah yang berasal dari keluarga biasa, seadanya dan bersahaja itu tak percaya diri. Tetapi niat baik dari masing-masing pihak mengatasi semuanya.

Hari akad dan walimah itu tinggal tujuh hari menjelang, ketika sang ikhwan dengan mobil barunya datang kerumah yang dikontraknya bersama akhwat-akhwat lain. Sang muslimah agak terkejut ketika si calon suami tampak sendiri. Ya, hari itu mereka berencana meninjau rumah calon tempat tinggal yang akan mereka surgakan bersama. Angkahnya, ibunda si lelaki dan adik perempuannya akan beserta agar batas syariat tetap terjaga.

"Afwan ukhti, ibu dan adik tidak jadi ikut karena mendadak uwak masuk ICU tersebab serangan jantung,: ujar ikhwan berpenampilan eksekutif muda itu dengan wajah sesal dan merasa bersalah. "Afwan juga, adakah beberapa akhwat teman Anti yag bisa mendampingi agar rencana hari ini tetap berjalan?". "Sayangnya tidak ada. Afwan, semua sedang ada acara dan keperluan lain. Bisakah ditunda?". "Masalahnya besok saya harus berangkat keluar kota untuk beberapa hari. Sepertinya tak ada waktu lagi. Bagaimana?"

Akhirnya dengan memaksa dan membujuk , salah seorang kawan kontrakan sang Ukhti berkenan menemani mereka. Tetapi bi idznillaah, di tengah jalan sang teman ditelepon rekan lain untuk suatu keperluan yang katanya gawat darurat. "Saya menyesal membiarkannya turun di tengah perjalanan," kata Muslimah itu pada saya dengan sedikit isak. "Meskipun kami jaga sebaik-baiknya dengan dengan duduk beda baris, dia di depan dan saya di belakang, saya insyaf, itu awal semua petakanya. Kami terlalu memudah-mudahkan. Astaghfirullah."

Ringkas cerita, mereka akhirnya harus berdua saja meninjau rumah baru tempat kelak surga cinta itu akan di bangun. Rumah itu tak besar. Tetapi asri dan nyaman. Tidak megah. Tetapi anggun dan teduh. Saat sang Muslimah pamit ke kamar mandi untuk hajatnya, dengan bantuan seekor kecoa yang membuatnya berteriak ketakutan, syaitan bekerja dengan kelihaian menakjubkan. "Di rumah yang seharusnya kami bangun surga dalam ridha-Nya, kami jatuh terjerembab ke neraka. Kami melakukan dosa besar terlaknat itu," dia tersedu. Saya tak tega memangdang dia dan sang ibunda yang menggugu. Saya alihkan mata saya pada adik lelakinya di sebalik pintu. Dia tampak menimang seorang anak perempuan kecil.

"Kisahnya tak berhenti sampai disitu,"lanjutnya setelah agak tenang. "Pulang dari sana, kami berada dalam gejolak rasa yang sungguh menyiksa. Kami marah. Marah pada diri kami. Marah pada adik dan ibu. Marah pada kawan yang memaksa turun di jalan. Marah pada kecoa itu. Kami kalut. Kami sedih. Merasa kotor. Merasa jijik. Saya ters menangis di jok belakang. Dia menyetir dengan galau. Sesal itu menyakitkan sekali. Kami kacau. Kami merasa hancur." Dan kecelakaan itu pun terjadi. Mobil mereka menghantam truk pengangkut kayu di tikungan. Tepat sepekan sebelum pernikahan.

"Setelah hampir empat bulan koma,"sambungnya,"akhirnya saya sadar. Pemulihan yang sungguh memakan waktu itu diperberat oleh kabar yang awalnya saya bingung harus mengucap apa. Saya hamil. Saya mengandung. Perzinaan terdosa itu membuahkan karunia." Saya takjub pada pilihan katanya. Dia menyebutnya "karunia". Sungguh tak mudah untuk mengucap itu bagi orang yang terluka oleh dosa. 

"Yang lebih membuat saya merasa langit runtuh dan bumi menghimpit adalah,"katanya terisak lagi,"ternyata calon suami saya, ayah dari anak saya, meninggal di tempat dalam kecelakaan itu."

"Subhanallah." saya memekik pelan dengan hati menjerit. Saya pandangi gadis kecil yang kini digendong oleh sang paman itu. Engkau rupanya Nak, penanda dosa yang harus dicintai itu. Engkau rupanya Nak, karunia yang menyertai kekhilafan orangtuamu. Engkaulah rupanya Nak, ujian yang datang setelah ujian. Seperti perut ikan yang menelan Yunus setelah dia sabar menyeru kaumnya.

"Doakan saya kuat Ustadz," ujarnya. Tiba-tiba, panggilan "Ustadz" itu terasa menyengat saya. Sergapan rasa tak pantas serasa melumuri seluruh tubuh. Bagaimana saya akan berkata-kata di hadapan seseorang yang begitu tegar menanggung semua derita, bahkan ketika keluarga almarhum calon suaminya mencampakkannya begitu rupa. Saya masih bingung alangkah teganya mereka, keluarga yang konon kaya dan terhormat mengatakan: "Bagaimana kami bisa percaya bahwa itu cucu kami dan bukan hasil ketaksenonohanmu dengan pria lain yang membuat putra kami tersayang meninggal karena frustasi?"

"Doakan saya Ustadz,"kembali dia menyentak. "Semoga keteguhan dan kesabaran saya atas ujian ini tak berubah menjadi kekerasan hati dan tak tahu malu. Dan semoga sesal dan taubat ini tak menghalangi saya dari mencintai anak itu sepenuh hati." Aduhai, surga masih jauh. Bahkan pinta doanya pun menakjubkan.

Allah sayangilah jiwa-jiwa pendosa yang memperbaiki diri dengan sepenuh hati. Allah, jadikan wanita ini semulia Maryam. Cuci dia dari dosa-dosa masa lalu dengan kesabarannya meniti hari-hari bersama sang buah hati. Allah, balasi tiap kegigihannya mencintai penanda dosa dengan kemuliaan di sisi-Mu dan di sisi orang-orang beriman. Allah, sebab ayahnya telah Kau-panggil, kami titipkan anak manis dan shalihah ini ke dalam pengasuhan-Mu Yang Maha Rahman dan Rahim.

Allah, jangan pula izinkan hati kami sesedikit apa pun menghina jiwa-jiwa pendosa. Sebab ada kata-kata Imam Ahmad ibn Hanbal dalam Kitab Az-Zuhud yang selalu menginsyafkan kami. "Sejak dulu kami menyepakati," tulis beliau,"bahwa jika seseorang menghina saudara mukminnya atas suatu dosa, dia takkan mati sampai Allah mengujinya dengan dosa yang semisal dengannya." Semoga ada pelajarean yang bisa kita ambil dari kisah ini. Dan mohonlah kepada Allah agar senantiasa mengistiqamahkan hati kita dalam meniti jalan-Nya hingga saat Ia menjemput kita tiada kata penutup selain satu kalimat tauhid, Laa Ilaaha illallaah. Amin.

-Salim A. Fillah dalam buku Menyimak Kicau Merajut Makna-

*saya yakin, muslimah tersebut tidak bermaksud untuk mengumbarkan aibnya tapi untuk mengingatkan kita untuk selalu berhati-hati dalam menjaga diri dan tidak memudah-mudahkan sesuatu. Semoga Allah merahmatinya dan juga putri kecilnya. Dan semoga kita selalu dalam lindungan Allah dan dijauhkan dari godaan syaitan yang terkutuk, Amin. "Ah, surga masih jauh."


09:29pm
:hikmah akhir november:

Jumat, 29 November 2013

September kelabu (?)

Sebenarnya ini postingan telat,, mau di posting bulan september kemarin tapi karena sibuk-sibuknya penelitian jadinya sempat terabaikan.. ini juga jadi postingan pertama setelah blog ini 'tertidur' 4 bulan.. *maaf ya lenteraku

September kelabu? kenapa harus disebut kelabu? mungkin bagi beberapa orang (termasuk saya) bulan september itu mengingatkan seseorang yang sudah pergi jauh... jauh sekali. Kalo seorang teman bilang september itu bulannya orang kehilangan.
Dari facebook, saya menemukan ada dua orang teman yang ternyata ditinggal 'pergi' di bulan september, mungkin bedanya cuma tahun kepergiannya yang tidak sama. Dan puisi dibawah yang judulnya "Sajak September" karya Hendry Ch Bangun yang saya reblog dari tumbrnya mba Tia Setiawati Pakualam isinya sangat-sangat cocok dengan saya yang menganggap september itu bulan kelabu.





Tapi rindu yang tak larut...



12:56am
:ditengah derasnya hujan akhir november: