KEKERASAN
PADA TENAGA KERJA WANITA DI LUAR NEGERI
DAN SOLUSINYA*
Oleh : Mahdaniah
Pendahuluan
Dari hari ke hari jumlah Tenaga
Kerja Wanita semakin banyak. Ini menandakan peran sebagai pencari nafkah tidak
hanya bisa dilakukan oleh kaum pria saja tapi kaum wanita pun juga bisa
berperan besar dalam menghidupi keluarganya. Menurut Suma’mur (2009)1
tidak sedikit bahkan telah banyak wanita yang dapat mencapai kedudukan dan
sukses besar dalam lapangan apa pun, baik pada sektor pemerintahan maupun
swasta bahkan pada gelanggang politik sekalipun.
Namun hal ini berbanding terbalik dengan keadaan
tenaga kerja wanita migrant yang bekerja di luar negeri. Meningkatnya angka
kemiskinan di Indonesia setelah terjadinya krisis moneter tahun 1998, membuat
banyak perempuan Indonesia, khususnya yang berada di desa-desa mengadu nasib ke
luar negeri Dan dampaknya pun kasus-kasus kekerasan yang menimpa TKW di luar
negeri semakin meningkat. Kasus kekerasan ini bukan hal baru bagi pemerintah
Indonesia.
Jika para tenaga kerja wanita yang bekerja di dalam
negeri bisa mendapatkan perlindungan dari pemerintah terutama dari UU No.13
Tahun 2003, tidak dengan para TKW yang bekerja di luar negeri, dalam
undang-undang ini belum ada aturan jelas yang mengkhususkan perlindungan pada para
TKW. Bahkan ketika Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono berpidato pada
saat Konferensi Internasional Buruh yang digelar oleh International Labour
Organization (ILO) pada 14 Juni 2011 yang lalu. Dihadapan semua perwakilam
Negara ILO beliau mengatakan akan melindungi para buruh migrant Indonesia yang
ada diluar negeri. Namun, pidato ini menjadi omong kosong karena seminggu
kemudian di Timur Tengah, seorang TKW tengah dihukum pancung oleh negara
tersebut.2 Kejadian ini,
membuktikan bahwa Indonesia tidak pernah serius menangani TKW.
Berbeda dengan Filipina, beberapa tahun yang lalu
ketika para tenaga kerja Filipina dipulangkan oleh Malaysia karena dianggap
pendatang gelap, presiden Filipina pada saat itu Gloria Macapagal Arroyo
menjemput langsung para pekerja tersebut. Hal ini menunjukkan pemimpin di negara
itu merasakan penderitaan rakyatnya. Dan seharusnya Indonesia bisa belajar dari
Filipina bahwa para TKW yang menjadi korban kekerasan tidak meminta janji-janji
yang omong kososng, tapi tindakan nyata yang bisa memerdekakan mereka.
Dalam tulisan kali ini, penulis akan membahas
masalah-masalah mengenai TKW yang bekerja di luar negeri, khususnya yang
menyangkut kasus kekerasan yang dialami banyak TKW. Selain itu, dalam paper ini
akan dibahas beberapa solusi yang bisa diterapkan untuk menangani masalah TKW
ini.
Kekerasaan pada TKW di Luar Negeri
Sampai
detik ini, pengiriman tenaga kerja Indonesia untuk bekerja ke luar negeri masih
tetap berlangsung. Maraknya kasus-kasus kekerasan pada TKI, tidak membuat
mereka mengurungkan niatnya menjadi pahlawan devisa. Ungkapan sebagai pahlawan
devisa yang terdengar membanggakan tapi tidak untuk TKI yang ada di luar negeri
khususnya para wanita Indonesia yang merelakan hidupnya sebagai TKW. Sudah
sangat banyak kasus-kasus kekerasan yang terjadi pada TKW baik yang
dipublikasikan oleh media maupun yang tersembunyi.
Kekerasan
pada TKI, khususnya TKW sudah menjadi cerita lama bagi pemerintah Indonesia.
Kekerasan ini tidak hanya terjadi pada saat bekerja di luar negeri, namun pada
proses sebelum pemberangkatan sampai para TKI kembali ke Indonesia. Menurut Helfi Agustin3,
kekerasan ini meliputi kekerasan ekonomi (tidak diberi gaji sama sekali),
kekerasan fisik (berupa pemukulan), kekerasan psikologis (berupa hinaan atau
makian) dan kekerasan seksual (diperkosa).
Sebelum Pemberangkatan, gerak para calo maupun agen TKI ini sudah sangat
terorganisir dan mereka menyebar di
titik-titik keberangkatan TKI seperti
nunukan (Kaltim), Entikong (Kalbar), Tanjung Asahan (Sumut) dan Batam
(Riau). Mereka ini yang menyerahkan para TKI pada calo/agen di daerah tujuan
TKI dan biasanya jika di Malaysia mereka mendapat 1500-2000 Ringgit atau
sekitar Rp 4 Juta-Rp 5,4 juta per orang.4 Hasil yang cukup
menggiurkan untuk menjadikan seseorang berprofesi sebagai ‘penjual’ para TKI.
Setelah
diserahkan kepada agen di negara setempat, babak baru para TKI dimulai. Tidak
banyak dari mereka yang betul-betul bekerja seperti yang dijanjikan. Mereka
biasanya dipaksa menjadi pelacur bahkan ada yang diperkosa oleh agennya sendiri.
Beberapa TKI yang menjadi pembantu rumah tangga, tidak pernah mendapat gaji
sepeser pun dari majikannya bahkan ada yang sampai 2 tahun bekerja tidak juga
diberikan gaji. Ini dikarenakan para majikan tersebut membayar kepada agen
sebesar 3500-4000 ringgit4 dan mereka menganggap uang tersebut harus
dipotong dari gaji mereka untuk menutupi biaya dari yang telah dibayarkan
kepada agen. Tidak hanya itu, paspor mereka
juga ditahan sehingga mereka tidak bisa lari dari majikan tersebut.
Faktanya,
yang lebih banyak mendapat kekerasan adalah para tenaga kerja wanita. Umumnya
mereka mendapat kekerasan seksual maupun fisik. Berbeda dengan tenaga kerja
laki-laki mereka biasanya hanya mendapat kekerasan ekonomi maupun psikologis
seperti penahanan gaji dan bentakan/makian. Pada pertemuan kesehatan dunia
(World Health Assembly) tahun 1996
menyatakan kekerasan menjadi prioritas kesehatan dunia.3 Maraknya
kekerasan pada tenaga kerja wanita, sudah diperkirakan oleh WHO bahwa 1 dari 5
wanita kekerasan berada pada urutan 19
penyebab DALY (Disability Adjusted Life Years) dan akan meningkat menjadi
urutan 12 pada tahun 2020.5
Kekerasan
terhadap perempuan meliputi segala
tindakan kekerasan berbasis gender yang berakibat atau mungkin berakibat
menyakiti secara fisik,seksual, mental atau penderitaan terhadap perempuan
termasuk ancaman dari tindakan tersebut, pemaksaan atau perampasan semena-mena
kebebasan baik yang terjadi di lingkungan masyarakat maupun dalam kehidupan
pribadi (Deklarasi PBB tentang Anti Kekerasan terhadap Perempuan Pasal 1, tahun
1993).6
Kekerasan
berbasis gender dan segala bentuk penyerangan maupun eksploitasi seksual
termasuk yang merupakan hasil olahan prasangka/anggapan budaya adalah
pelanggaran terhadap harkat dan martabat manusia dan oleh karenanya harus
dihapuskan (Program Aksi dalam salah satu Deklarasi Konferensi Wina tahun
1993).6 Pernyataan ini menunjukkan kekerasan pada wanita sudah
sangat melanggar martabat manusia apalagi tenaga kerja wanita di luar negeri
banyak yang diperlakukan tidak manusiawi bahkan disejajarkan dengan binatang.
Kekerasan
pada TKW yang umumnya bekerja sebagai pembantu rumah tangga dilatarbelakangi
oleh perbedaan budaya dengan majikan maupun keterampilan7 yang
dimiliki dan status pendidikannya. Perbedaan budaya ini termasuk perbedaan
bahasa, biasanya TKW illegal yang memang tidak pernah mendapatkan pelatihan
akan sangat mudah salah paham dengan majikannya. Ini yang menyebabkan apa yang
dikerjakan oleh TKW tidak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh majikan. Namun
tidak hanya terjadi pada TKW illegal saja, TKW legal pun yang telah mendapatkan
pelatihan sebelumnya kerap mendapatkan kekerasan juga. Karena materi-materi
yang mereka dapatkan sebelum berangkat tidak sesuai dengan apa yang mereka
alami ditempat kerja. Ini menandakan pelatihan-pelatihan yang diberikan pada
para TKW hanya sebatas formalitas.
Berbeda
dengan TKW yang bekerja sebagai pelacur, mereka mendapat kekerasan karena
sebagian besar menolak untuk dipekerjakan sebagai pelacur. Dan akibatnya mereka
dipukul dan disiksa oleh tukung pukul yang sudah disewa oleh agen para TKW
tersebut yang sekaligus merangkap sebagai germo. TKW yang terjerumus ini
umumnya tertipu oleh para agen, mereka dijanjikan bekerja sebagai pelayan
restoran maupun di salon . Namun, sesampainya disana mereka dipaksa bekerja
sebagai budak seks. Ada yang berhasil menolak dan melarikan diri, tapi banyak
juga yang pasrah menjadi pelacur. Mereka menganggap walaupun sudah terjerumus,
pekerjaan ini yang mudah dilakukan oleh mereka yang mempunyai pendidikan
rendah.
Dampak kekerasan terhadap TKW
TKW yang mendapat kekerasan fisik,
akan menimbulkan luka yang dapat dilihat seperti bekas memar, bahkan ada yang
sampai cacat. Seperti kasus Nirmala Bonat, TKW asal NTT yang disiksa oleh majikannya
sendiri dan luka tersebut membekas pada tubuhnya8 .Tidak hanya berakibat
cacat, tapi juga berakibat pada kematian. Kasus ini sangat banyak terjadi,
umumnya mereka bunuh diri karena sudah tidak tahan lagi dengan siksaan majikan.
Seorang TKW asal Kediri, Rosminah (20) yang meninggal karena digigit anjing
majikannya setelah tiga hari dihukum tanpa makan dan minum9. Sebelumnya,
dia disuruh tidur di kandang anjing tersebut dan karena lupa merantainya, dia
pun menjadi santapan oleh anjing-anjing yang kelaparan itu. Sungguh sangat
miris mengetahui hal ini, bahwa yang bergelar ‘pahlawan devisa’ justru
diperlakukan lebih rendah dari binatang.
Kekerasan yang dialami para TKW juga
bisa menimbulkan perubahan pola menstruasi, ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Mira Suminar,dkk5 bahwa wanita korban kekerasan
mengalami perubahan pola menstruasi dua hingga tiga kali bahkan ada yang volume
menstruasinya menjadi lebih banyak dan perutnya terasa sakit. Perubahan
menstruasi ini sering terjadi pada saat mereka stress. Menurut Suzane dan
Brenda (Mira Suminar,dkk,2005)5 menyatakan bahwa stress dapat
menghambat produksi hormon gonadotropin sehingga produksi folikel stimulating
hormon (FSH) dan lutenizing hormon (LH) terhambat. Terganggunya produksi
estrogen dan progesterone menyebabkan perubahan pada siklus menstruasi.
Selain berdampak pada fisik para TKW, kekerasan juga
berdampak pada psikologis dirinya. Hal ini terutama akibat kekerasan seksual
yang sering dialami oleh para TKW. Mereka sangat trauma dan banyak yang tidak
mau kembali lagi untuk bekerja. Mereka menjadi tertutup dan enggan berbicara
kepada orang lain. Seperti yang terjadi pada FA (TKW asal Kalbar), dia
diperkosa oleh agen yang membawanya dan akibatnya dia mengalami depresi mental
cukup berat. Selama berbulan-bulan dia tinggal di kantor penghubung KJRI, dia
tidak mau bicara, bahkan terus-menerus menangis meratapi tragedi yang menimpa
dirinya. Makanan pun jarang dimakan, dan beberapa kali mencoba bunuh diri.4
Berdasarkan penelitian yang
dilakukaan Helfi Agustin (2006)3, para korban kekerasan merasakan
kekecewaan mendalam dan juga terlihat perasaan tidak berdaya. Beberapa korban
lain menyatakan mengalami stress/tekanan psikis akibat teriakan dan makian
majikan. Salah satu korban mengalami depresi berat, tetapi berkembang rumor di
dalam masyarakat bahwa korban tersebut mengalami depresi sebagai akibat suntik pana yang dilakukan pihak petugas di Malaysia.
Suntik pana ini sempat menjadi rumor
diantara para Tenaga Kerja Indonesia, suntik ini diyakini dapat mengakibatkan
kehilangan ingatan dan bingung.
Selain berdampak pada korban, hal
ini juga berdampak pada keluarganya. Korban yang mendapat kekerasan dan
menimbulkan luka-luka yang serius sehingga butuh perawatan intensif akan membutuhkan banyak biaya. Terkadang para
korban ini tidak mendapatkan upah selama bekerja, ketika pulang kembali ke
Indonesia dengan membawa luka-luka yang cukup parah dan tidak membawa uang
sepeser pun, keluarganya lah yang harus menanggung semua biaya perawatan maupun
pengobatannya. Hanya sebagian kecil saja yang dibiayai oleh pemerintah, umumnya
korban-korban yang sudah terpublikasi oleh media.
Selain itu, korban yang meninggal membuat
keluarga yang ditinggal merasa kehilangan. Apalagi korban tersebut,
satu-satunya tulang punggung keluarga. Dan membuat keluarga yang ditinggalkan
kehilangan sumber pendapatan mereka dan semakin terjerat dalam kemiskinan.
Sebagian besar korban berasal dari keluarga yang kurang mampu dan tertarik
menjadi TKW dengan maksud untuk memperbaiki kondisi ekonomi keluarganya. Untuk
korban yang sudah berkeluarga, ini akan berakibat pada kondisi
suami maupun anak-anaknya. Si suami akan mengambil alih semua pekerjaan rumah
tangganya dan ini akan menjadi berat karena bagaimanapun peran wanita sangat
besar dalam keluarga. Untuk anak-anak yang ditinggalkan mereka akan kehilangan
sosok seorang ibu yang sudah berperan besar dalam proses pertumbuhannya, dan
sosok ini tidak bisa digantikan oleh siapa pun.
Solusi penanganan masalah TKW
Masalah TKW merupakan masalah yang
tidak ada habisnya untuk dibicarakan. Untuk itu perlu ada penanganan yang
khusus untuk masalah ini. Apalagi resolusi WHO yang sudah dibahas diatas
mengarah pada pengembangan rencana upaya pencegahan kekerasan berbasis
pendekatan kesehatan masyarakat yang menekankan upaya pencegahan pada tingkat
primer sebelum peristiwa tersebut terjadi. Kesehatan masyarakat berperan pada
upaya advokasi meningkatkan perhatian dan kesadaran masyarakat dan berbagai
pihak terkait bahwa kekerasan adalah sebuah realita yang dapat dicegah.3
Dan hal ini sangat cocok dengan peran seorang tenaga kesehatan masyarakat yang
mengedepankan konsep preventif.
Penanganan masalah ini bisa dibagi menjadi 3 tahap,
yaitu :
1. Sebelum
proses keberangkatan
Pada
tahap ini, bisa disebut sebagai tahap pencegahan tingkat primer. Karena jika penanganan
pada tahap ini bisa berhasil, maka diharapkan tidak ada lagi kasus kekerasan
yang terjadi pada TKW. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan yaitu :
· Memberikan
Pelatihan/pengembangan dan pendidikan kepada calon TKW
Program semacam ini sangat penting, karena rata-rata
para calon TKW berasal dari daerah dan kurang mempunyai keterampilan yang
cukup. Seperti penggunaan teknologi yang belum mereka kuasai, dan terkadang ini
yang memicu terjadinya kekerasan pada TKW. Hal ini juga didukung dengan tingkat
pendidikan yang rendah. Untuk itu perlu dibentuk suatu balai pendidikan dan
pelatihan khusus TKW yang mempunyai kurikulum yang sudah ada standarnya dan
diawasi langsung oleh Depnaker. Dan perlu diwajibkan juga kepada setiap PJTKI
(Pengerah Jasa Tenaga Kerja Indonesia) untuk mempunyai balai pendidikan
tersebut.
Menurut Ashar Sunyoto (2009)10, perlu
adanya tahap-tahap untuk menyusun suatu program pelatihan/pengembangan, yaitu :
- Tahap
1. Identifikasi kebutuhan pelatihan atau studi pekerjaan (job study)
- Tahap
2. Penetapan sasaran pelatihan/pengembangan
- Tahap
3.Penetapan kriteria keberhasilan dengan alat ukurnya
- Tahap
4.Penetapan metode pelatihan/penyajiannya
- Tahap
5. Percobaan dan revisi
- Tahap
6. Implementasi dan evaluasi
Dengan adanya tahap-tahap seperti diatas, diharapkan
pelatihan yang dilakukan dapat efektif dan tidak salah arah. Karena ada
beberapa kasus, para calon TKW diberi pelatihan yang tidak sesuai dengan
kondisi pekerjaannya.
·
Mengikutsertakan para TKW pada program
asuransi
Program
ini sangat bermanfaat bagi para TKW, karena dapat membantu TKW apabila mereka
mengalami kekerasan. Bagi mereka yang meninggal karena kecelakaan sebelum
pemberangkatan, ahli warisnya berhak menerima santunan Rp 6 juta dan meninggal
karena sakit Rp 3 juta. Kerugian dan jiwa TKW juga ditanggung selama percobaan
tiga bulan dan setelah kontrak kerja berakhir dengan santunan berkisar Rp
3juta-Rp 6juta. Asuransi juga menjamin TKW yang mengalami penganiyaan oleh
pengguna jasa dengan bukti-bukti fisik, bukti medis, surat keterangan dari yang
berwenang, dan kwitansi asli biaya perawatan sampai sembuh dan tiket pesawat
kelas ekonomi kembali ke Indonesia.4
Hal
ini sejalan dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial
Tenaga Kerja, yang dapat memberikan perlindungan terhadap TKW. Karena dalam
undang-undang tersebut menyebutkan bahwa pekerja berhak memperoleh perlindungan
dan jaminan dalam bentuk santunan, berupa uang sebagai pengganti sebagian
penghasilan yang hilang atau berkurang, dan pelayanan sebagai akibat dari peristiwa
atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja, seperti kecelakaan kerja, sakit,
hamil,bersalin, hari tua dan meninggal.11
Namun
pada kenyataannya, jaminan ini hanya diberikan pada tenaga kerja yang sifatnya
formal. Dan, para TKW yang sebagian besar berstatus illegal tidak dapat
menikmati pelayanan ini. Untuk itu, pemerintah perlu membentuk suatu perusahaan
yang khusus menangani pemberian asuransi kepada para TKW, agar para TKW
mendapatkan perlindungan yang sesuai dengan undang-undang diatas dan proses
pemberiannya pun bisa dengah mudah diawasi oleh pemerintah. Karena banyak
kasus, perusahaan-perusahaan asuransi yang bekerja sama dengan para calo maupun
PJTKI (Pengerah Jasa Tenaga Kerja Indonesia) hanyalah perusahaan-perusahaan
fiktif dan ini membuktikan, para calo tersebut ingin membuat kesan bahwa TKW
yang direkrut sudah melalui proses yang berlaku atau agar terkesan para TKW
tersebut legal.
·
Memperbaiki Proses pengiriman TKW
Hal ini perlu dilakukan, karena yang terjadi calon
TKW banyak yang ditipu oleh agen/calo yamg merekrut mereka. Banyak dari mereka
sesampainya dinegara tujuan justru dijadikan pelacur. Pemerintah perlu menetapkan
standarisasi dan akreditasi terhadap setiap PJTKI yang ada. Dan yang berhak
melakukan pengiriman TKW hanya yang sudah terakreditasi oleh pemerintah. Dan
dari sinilah perlu dibuat suatu prosedur pengiriman resmi yang hanya bisa
dilakukan oleh PJTKI yang sudah terakreditasi. Selain itu, perlu adanya lembaga
pengawas yang bisa mengawasi proses pengiriman TKW dari proses perekrutan
sampai diserahkan ke majikan masing-masing.
2. Selama
di tempat kerja
TKW
yang sudah berada di negara tujuan dan diserahkan kepada majikan masing-masing
harus selalu diawasi dan dilindungi. Pengawasan ini tidak hanya dilakukan
terhadap para TKW saja namun juga pada majikannya. Ini dilakukan agar tidak
terjadi tindak kekerasan yang dilakukan majikan. Yang harus melakukan
pengawasan ini adalah perwakilan Indonesia di setiap Negara-negara tujuan TKW,
seperti konsulat atau kedutaan Indonesia di Negara tersebut. Yang penting
dilakukan adalah mendata semua majikan-majikan yang menggunakan jasa TKW
seperti identitasnya, alamat rumah, nomor telepon dll. Hal ini akan memudahkan
pengawasan terhadap pekerja maupun majikan sehingga mempercepat proses
penanganan jika ada pekerja yang mendapat kekerasan dari majikan. Selain itu, pengawasan
ini bisa berupa melihat/meneliti isi kontrak kerja antara pekerja dan majikan.
Jika tidak sesuai dan terjadi pelanggaran maka harus dikenakan sanksi ataupun
melalui proses peradilan.
3.
Setelah kembali ke Indonesia
·
Membentuk Lembaga bimbingan konseling
Hal ini sangat perlu dilakukan karena sebagian
besar, para TKW yang kembali ke Indonesia adalah mereka yang telah mendapat
kekerasan dari majikannya. Umumnya mereka menderita kekerasan fisik maupun
psikologis. Tidak jarang dari mereka yang menderita trauma yang berkepanjangan
dan depresi berat.
Bimbingan dan Konseling merupakan upaya
proaktif dan sistematik dalam memfasilitasi individu mencapai tingkat
perkembangan yang optimal, pengembangan perilaku yang efektif, pengembangan
lingkungan dan peningkatan fungsi atau manfaat individu dalam lingkungannya
(Fenti Hikmawanti,2011).12
Metode konseling ini
lebih menekankan kepada perubahan dan perbaikan perilaku individu tersebut dan pelayanannya
pun bersifat fleksibel juga tidak kaku. Ini dilakukan agar para korban bisa
merasa nyaman dan tidak takut menceritakan apa yang menjadi masalahnya. Selain
itu, sikap seorang konselor yang bersahabat atau ramah dan
pertanyaan-pertanyaan yang diberikan tidak bersifat menekan akan cepat disukai
para korban. Sehingga proses pemulihan kondisi psikologisnya pun tidak memakan
waktu lama.
Dari sinilah pentingnya peran seorang
konselor (orang yang memberikan konseling), dia yang menentukan apakah
korban/kliennya bisa terbuka dan proses penyembuhannya pun berjalan cepat atau
justru sebaliknya sikap konselor yang terlalu tegas dan memandang korban
sebagai seseorang yang harus dinasehati dan bukan dianggap sebagai teman akan
membuat proses penyembuhannya berjalan lama. Dan mungkin saja korban sudah
tidak mau lagi ikut bimbingan konseling.
Dibawah ini merupakan beberapa hal yang
dapat membedakan mana konselor yang baik/efektif dan konselot yang tidak
efektif menurut Barbara F.Okun (Sofyan S.Willis:2004 dalam Fenti
Hikmawati:2011).12
Tabel 1. Perilaku verbal
Efektif
|
Tidak
Efektif
|
Menggunakan
kata-kata yang dapat dipahami klien
|
Memberi
Nasihat
|
Memberikan
refleksi dan penjelasan terhadap pernyataan klien
|
Terus
menerus menggali dan bertanya terutama bertanya “mengapa”
|
Penafsiran
yang baik/sesuai
|
Bersifat
menentramkan klien
|
Membuat
kesimpulan-kesimpulan
|
Menyalahkan
klien
|
Merespons
pesan utama klien
|
Menilai
Klien
|
Memberi
dorongan minimal
|
Membujuk
Klien
|
Memanggil
klien dengan nama panggilan atau “Anda”
|
Menceramahi
|
Memberi
Informasi sesuai keadaan
|
Mendesak
klien
|
Menjawab
pernyataan tentang diri konselor
|
Terlalu
banyak berbicara megenai diri sendiri
|
Menggunakan
humor secara tepat tentang pernyataan klien
|
Menggunakan
kata-kata yang tidak dimengerti
|
Penafsiran
yang sesuai dengan situasi
|
Penafsiran
yang berlebihan
|
|
Sikap
merendahkan klien
|
|
Sering
menuntut/meminta klien
|
|
Menyimpang
dari topic
|
|
Sok
intelektual
|
|
Analisis
yang berlebihan
|
|
Selalu
mengarahkan klien
|
Sumber : Barbara F.Okun (Sofyan
S.Willis:2004 dalam Fenti Hikmawati:2011)
Tabel
2. Perilaku Nonverbal
Efektif
|
Tidak
efektif
|
Nada suara
disesuaikan dengan klien (tenang,sedang)
|
Berbicara
terlalu cepat atau terlalu pelan
|
Memelihara
kontak mata yang baik
|
Duduk
menjauh dari klien
|
sesekali
menganggukkan kepala
|
Senyum
menyeringai/senyum sinis
|
Wajah
yang bersemangat
|
Menggerakkan
dahi
|
Kadang-kadang
member isyarat tangan
|
Cemberut
|
Jarak
dengan klien relatif dekat
|
Merapatkan
mulut
|
Ucapan
tidak terlalu cepat/lambat
|
Menggoyang-goyangkan
jari
|
Duduk
agak condong ke arah klien
|
Menguap
|
Sentuhan
(Touch) disesuaikan dengan usia klien dan budaya local
|
Gerak-gerak
isyarat yang mengacaukan
|
Air
muka ramah dan senyum
|
Menutup
mata atau mengantuk
|
|
Nada
suara tidak menyenangkan
|
|
Membuang
pandangan
|
Sumber : Barbara F.Okun (Sofyan
S.Willis:2004 dalam Fenti Hikmawati:2011)
Ada
beberapa macam tipe-tipe konseling menurut Pietrofesa,dkk (Andi Mappiare
AT,2010)13 yang diklasifikasikan dari segi waktu penanganan yaitu
proses pemecahan masalah individu, dimana mungkin diperlukan waktu segera atau
relative panjang. Tipe-tipe dibawah ini bisa diterapkan kepada para TKW.
1.
Konseling krisis
Konseling ini khusus menangani korban yang
frustasi/depresi dan yang sudah tidak mempunyai tujuan hidup lagi. Dan ini
dipicu oleh masalah-masalah seperti para TKW yang menjadi korban perkosaan,
disiksa majikan, hukuman penjara hingga percobaan bunuh diri. Konselor perlu
menciptakan suasana yang meyakinkan dan mendukung sepenuhnya bahwa masih ada
harapan untuk korban, sehingga dapat meredakan kecemasan korban. Konseling ini
harus segera mungkin dilakukan agar korban tidak terjerumus dalam hal-hal yang
tidak diinginkan.
2.
Konseling Fasilitatif
Konseling ini membantu korban untuk
menemukan kelebihan-kelebihan yang dimiliki maupun minat dan bakat individunya.
Ini bisa diterapkan kepada para TKW yang trauma untuk kembali ke luar negeri
namun masih ingin bekerja lagi. Biasanya para TKW menganggap dirinya hanya bisa
bekerja sebagai pembantu rumah tangga saja. Akan tetapi setiap orang mempunyai
keahlian masing-masing. Dalam konseling ini, konselor fungsinya sebagai
fasilitator memberikan pengarahan-pengarahan dan membantu korban mencari
keahliannya yang bisa menjadi nilai lebih untuk dirinya.
3.
Konseling Preventif
Konseling ini sifatnya mencegah dan dapat
diterapkan kepada para TKW sebelum diberangkatkan ke luar negeri. Peran
konselor disini memberikan informasi-informasi mengenai hal-hal yang
berhubungan dengan pekerjaan yang akan dijalaninya nanti. Konselor juga harus
memberikan motivasi-motivasi dan menumbuhkan kepercayaan diri pada para TKW
agar setibanya disana mereka dengan mudah beradaptasi dengan kondisi di negara
tersebut.
4.
Konseling Developmental
Konseling ini sifatmya
berkelanjutan/kontinyu dan membangun kesadaran para TKW bahwa mereka
bertanggung jawab terhadap apa yang menjadi pilihannya. Ini akan membantu para
TKW untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama ketika ia tergiur untuk bekerja
di luar negeri dan berpikir ulang jika ingin mengambil suatu keputusan.
Konselor juga dapat bekerja sama dengan keluarga para TKW karena bagaimanapun
keluarga merupakan orang terdekat dan bisa terus memantau perkembangan diri
TKW.
Program
bimbingan dan konseling ini bisa diterapkan di rumah sakit, dalam suatu
penelitian yang dilakukan oleh Daisy Novira (2005)6, disalah satu
rumah sakit di Bengkulu yaitu RSUD Dr.M.Yunus terdapat sebuah unit yaitu
PKT&VCT (Pelayanan Krisis Terpadu & Voluntary Counseling and Testing)
dibentuk pada tahun 2004. Unit ini memberikan pelayanan terhadap korban akibat
kekerasan dan ini bisa diterapkan kepada TKW. Sehingga TKW yang sedang
menjalani perawatan akibat luka fisiknya juga dapat diberikan layanan
konseling. Namun, hal ini masih terkendala pada kesiapan rumah sakit untuk
memfasilitasi pelayanan seperti ini dan kurangnya tenaga psikolog yang ada di
rumah sakit.
Yang
terpenting dalam metode konseling ini adalah bimbingan yang berbasis
nilai-nilai agama. Sebagai contoh adalah model konseling islami. Konseling
Islami adalah suatu bentuk konseling yang prosesnya berlandaskan Al-Qur’an dan
sunah Rasul. Tujuan konseling islami ini untuk mengingatkan kepada klien (dalam
hal ini para TKW) bahwa cobaan-cobaan yang dialami datangnya dari Allah dan
jika ingin berhasil melewatinya, harus juga kembali kepada Allah. Seperti yang dikatakan Ibnu Athaillah, “Min ‘alamatin nujhi fin nihayati ar
ruju’u ilallahi fil bidayati” artinya Salah satu tanda sukses di akhir
perjalanan adalah kembali kepada Allah
di awal perjalanan.
Ada beberapa hal yang ingin
dicapai dari metode konseling islami ini menurut Az-Zahrani:2005 (Fenti
Hikmawanti,2011)12, yaitu :
1. Membina
keimanan para klien hingga mampu merasa aman, tenang dan ridha dengan segala apa yang ditakdirkan oleh Allah.
2
Menjadikan suri tauladan yang baik yang
sesuai dengan ketentuan Allah
3
Menanamkan akhlak yang mulia, seperti
saling menolong, toleransi dan juga rasa optimis
4
Menanamkan kepada diri klien bahwa
cara-cara mengatasi permasalahan yang tidak sesuai dengan syariat islam,
seperti paranormal dan sihir diharapkan agama dan tidak akan berhasil bagaimanapun
caranya.
Solusi
diatas tidak dapat terlaksana dengan baik jika tidak ada kerjasama antara
pemerintah dengan pihak-pihak terkait. Adanya dukungan dan kontribusi
pemerintah dalam menangani kasus ini diharapkan akan menekan kasus kekerasan
yang terjadi pada TKW di luar negeri.
DAFTAR PUSTAKA
1. Suma’mur.
2009. Higiene Perusahaan dan Kesehatan
Kerja (HIPERKES). Jakarta: CV.Sagung Seto.
2.Setiawan,
Aris., dkk. 2011. Pidato Presiden SBY Dan
Eksekusi Mati Ruyati. [online] http://nasional.vivanews.com/news/read/227820-pidato-presiden-sby-dan-eksekusi-mati-ruyati
Diakses tanggal 02 Desember 2011
3. Agustin,Helfi.
Kekerasan pada Setiap Tahap Penempatan
TKI Asal Propinsi Sumatera Barat tahun 2006, dalam Jurnal Kesehatan
Masyarakat Nasional Vo.1 No.4 Februari 2007.
4. Wawa,
Jannes E. 2005. Ironi Pahlawan Devisa
(Kisah Tenaga Kerja dalam Laporan Jurnalistik). Jakarta : Penerbit Buku Kompas.
5. Suminar,
Mira., dkk. Akibat Kekerasan Terhadap 6
Orang Istri Pada Aspek Fisik, Psikologis, Sosial, dan Ekonomi yang Berdomisili
di Wilayah Jakarta dan Bandung tahun 2004, dalam : Majalah Kesehatan
Masyarakat Indonesia Vol.33 (3), Agustus 2005
6. Novira,
Daisy. Pengembangan Model Pelayanan
Terpadu untuk Perempuan dan Anak Korban Kekerasan, dalam : Jurnal MARSI
Vol. VI No.1 Februari 2005
7.Sukesi, Keppi. Pekerja Rumah Tangga: Masalah dan
Solusi Pemberdayaan, dalam : Jurnal
Pusat Studi Wanita Vol.XII No.2 September 2008. [online] http://jurnal.umy.ac.id/index.php/nabila/article/viewArticle/6 Diakses tanggal 10 Oktober 2011.
10. Munandar, A.S.
2010. Psikologi
Industri dan Organisasi. Jakarta :
Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press).
11.Hamid, Adnan. Perlindungan dan Hak Tenaga Kerja Indonesia yang Bekerja di Luar Negeri
: Suatu Harapan dan Tantangan. Themis Volume 1 No.1 Oktober 2006. [online] http://r epository.univpancasila
.ac.id/index.php?option=com _docman&
task=docdownload&gid=519&Itemid=9 Diakses
tanggal 10 Oktober 2011.
12.
Hikmawati,
Fenti. 2011. Bimbingan Konseling (Edisi Revisi). Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada. 13.Mappiare
A.T.,Andi. 2010. Pengantar Konseling dan Psikoterapi (Edisi Kedua). Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.
*Diajukan sebagai tugas mata kuliah Psikologi Industri